Hari ini aku sudah berjanji kepada Cahaya untuk mencari cincin pertunangan kami di toko mas langganan ibu.
“ Ibu saja yang memilihkan cincin untuk Cahaya” kataku
“ Biar saja Cahaya yang memilih sendiri, “
Akhirnya aku mengalah daripada nanti aku di omeli lagi sama Ibu.
Menjemput Cahaya membuatku bahagia, pada awalnya Cahaya tidak mau di jemput dengan kekehnya aku memujuk cahaya. Mobilku sudah 10 menit parkir di kantor Cahaya, yang ku tunggu belum juga muncul. Akhirnya aku mengambil inisiatif untuk memjemputnya. Belum lagi aku keluar dari mobil aku melihat sosok yang aku tunggu keluar dari pintu. Berjalan sepertinya takut di ikuti seseorang, aku penasaran. Akhirnya aku keluar dari mobil dan berdiri di samping mobil karena lambai tangan. Cahaya melarangku untuk melangkah ke arahnya. Sambil berlari kecil Cahaya menghampiriku
“ Ada apa? “
Cahaya binggung mendengar pertanyaanku
“ memangnya ada apa? “ Cahaya malah balik bertanya kepadaku
“ Cahaya melihat ke kanan dan ke kiri, ada apa?
“ Kenapa jalanya seperti takut kepada seseorang?” aku bertanya ulang kepada Cahaya
“ Hmmm… malu takut di lihat orang”
“ Malu kenapa malu sebentar lagi kita akan bertunang dan menikah?”
“ Malu sama Indra?” aku membulatkan mata memandang Cahaya
“ Ya … sudah kita tidak usah pergi membeli Cincin tunang saja”
“ Bukan itu maksud Cahaya” aku melihat sedikit gurat ketakutan pada wajah Cahaya dan melanjutkan kalimatnya
“ Belum ada yang tahu Cahaya akan bertunang, di kantor semuanya selalu menganggap Cahaya batu es dingin yang tidak tergoyahkan.”
“ Apa maksudnya batu es?” aku memandang wajah Cahaya lekat, menunggu jawabannya
“ Maksudnya tidak ada laki – laki yang berani mendekati Cahaya” suaranya membuatku ingin tertawa tapi aku tahan karena takut Cahaya tersingung.
“ Jadikan kita pergi?” Cahaya gugup ketika mengatakan kalimat itu, aku hanya mengangkat bahu ku.
“ Apa maksudnya” melihat gayanya mengangkat bahu juga
“ Terserah Cahaya saja, Indra hanya supir”
“ Jangan tersingung, Cahaya belum terbiasa saja di jemput laki – laki.”
Aku memandang Cahaya, akhirnya tawaku terkeluar juga. Cahaya memandangku dengan jengkel. Tangannya spontan memukul bahuku dan melototkan matanya padaku, aku meraih tangannya Cahaya tersenyum malu berusaha melepaskan genggaman tanganku.
***
Seminggu lagi Cahaya akan menjadi tunangku, kami sudah sepakat hanya bertunang selama 2 bulan saja. Rasanya waktu lama sekali berjalan, wajah yang selalu membuat tidurku tidak lelap. Baru tadi sore aku menjemput dan mengantar Cahaya pulang itupun setelah dengan susah payah membujuknya.
Aku masih ingat bagaimana pagi tadi setelah subuh aku menelepon Cahaya untuk menjemput dan mengantarnya pulang.
“ Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam setelah mendengar suara telephon di angkat oleh Cahaya
“ Hari ini Cahaya ada pertemuan dengan klien atau tidak?”
“ Memangnya kenapa?” suara Cahaya terdengar dari seberang sana
“ Kalau tidak jumpa klein, Cahaya tidak perlu bawa mobil. Nanti Indra antar ke kantor begitu juga pulang Indra jemput.” Lama aku tidak mendengar jawaban dari Cahaya.
“ Cahaya masih ada?” Cahaya… cahaya aku memanggil nama Cahaya karena tidak mendengarkan respon dari Cahaya.
“ Kenapa Cahaya tidak suka? Indra hanya mau kita saling lebih mengenal. Sekalian latihan menjadi suami ideal.” Kataku bercanda, masih sepi tak ada jawaban dari Cahaya.
“ Ya, sudah… anggap saja Indra tidak menelepon.” Langsung aku mematikan telephonku.
Dreet dreet aku melihat telephonku bergetar, ada nama Cahaya di layar handphoneku. Sampai 3 kali handphoneku berbunyi aku biarkan saja. pada nada sambung ke 4 baru aku menganggkatnya, tapi aku tidak bersuara.
“ Assalamualaikum” aku mendengar suara Cahaya dari seberang sana terdengar seperti takut kepada diriku.
“ Walaikumsallam.”
“ Indra marah?’
“ Indra jawab Cahaya.” Aku sengaja hanya menjawab salam dan tidak berkata apa – apa.
“ Indra, Cahaya minta maaf. Bukan Cahaya tidak mau tapi Cahaya tidak mau menyusahkan Indra, bagaimana nanti jika tiba – tiba Indra ada keperluan mendadak dan tidak bisa menjemput Cahaya. Sementara Cahaya tidak membawa mobilkan repot jadinya.”
“Indra…Indra…Indra masih mendengarkan Cahayakan?
“ Iya Cahaya mau dijemput, Cahaya hari ini agak pagi kekantornya”
“ Indra jemput sekarang, kalau mau cepat kekantornya” Kataku
“ Iya tidaklah, inikan masih jam 05.30 terlalu pagi, pukul 07.00 Indra jemputnya.”
“ Pukul 06.30 Indra sudah sampai di depan rumah Cahaya.” Aku langsung mematikan sambungan handphone. Aku tersenyum setelah mematikan handphone, langsung menuju kamar mandi. Aku tidak mau terlambat menjemput Cahaya.(bersambung)
***