Jodohku, Dia (part 2)

Cerpen, Fiksiana54 Dilihat

Belum juga tepat pukul 2 Indra sudah nongkrong di depan kantorku, untung aku sudah mengantisifasinya. Dengan muka cemberut aku masuk ke dalam mobil Indra dan membanting pintunya

“Marah?” tanyanya

“Tidak.” Jawabku jengkel dengan bibir manyun

“Tidak marah tapi bibirnya 2 cm panjangnya.” Goda Indra

“Cepat jalannya, Cuma punya waktu 1 jam ni.” Ucapku sambil membuang muka memandang keluar jendela mobil.

Indra menjalankan mobil, hanya butuh waktu 10 menit untuk sampai tempat fiting baju, aku hanya memperhatikan Indra memilih baju dengan antusias. Setelah itu memintaku untuk mencoba baju yang sudah dipilihnya. Seharusnya aku yang memilih sebagai mempelai perempuan, Indra merusak semua apa yang aku idamkan pada hari pernikahanku. Setelah beberapa baju aku pakai akhirnya piliha Indra jatuh pada baju yang aku juga suka, tapi aku tidak mau Indra tahu jika aku juga menyukai baju yang menjadi pilihannya.

***

Setiap hari Indra berusaha menghubungiku dan mencari cara agar kami selalu bertemu, kadang – kadang aku jadi heran sendiri dengan Indra tidak seperti biasanya dia betah berlama – lama denganku. Semakin aku mencari cara untuk menjauh darinya bukan semakin jauh malah aku semakin sering memikirkan Indra.

“Ada apa denganku.” Batinku sambil mengeleng – geleng kepalaku.

Aku berusaha mengagalkan rencana pernikahan ini, ada – ada saja yang aku lakukan tapi Indra tampaknya tidak berpengaruh

Ku ambil gawaiku mendail nomor Indra,

“Assalamualaikum.” Aku memberikan salam setelah teleponku diangkat

“Walaikumsallam, ada apa calon istriku menelepon?” suara Indra diseberang sana terdengar.

“Indra, Aku ingin memperkenalkan Indra kepada seseorang.” Suaraku ku atur sedemikian rupa, jangan sampai ketahuan kalau  aku lagi bersiasat untuk mengelabui Indra.

“Boleh, jam berapa? Ketemuan dinama?” Suara Indra biasa saja

“Di tempat biasa kita ketemuan, jam 5 setelah pulang kantor.” Instruksiku kepada Indra, dan aku langsung menutup telepon dengan cepat seperti kebiasan jika kami teleponan.

***

Aku sudah duduk café bersama temanku Salim, aku meminta bantuan salim untuk berpura- pura menjadi pasanganku. Aku tersenyum sendiri kalau mengingat waktu Indra mengatakan padaku jika aku membawa calonku kepadanya baru dia akan membatalkan rencana pernikahan kami.

Indra melangkah dengan santai dan kelihatan rapi, senyumnya itu yang membuatku akhir – akhir ini menjadi galau tapi aku tidak mau hanyut karena aku tahu kalibernya Indra seperti apa. Aku tidak mau setelah menjadi istrinya ada perempuan yang datang melabrakku dan mencaci maki mengatakan aku mengambil kekasih orang.

“Assalamualaikum, apa kabar Salim sudah lama kita tidak bertemu.” Ucapan Indra sungguh membuat hatiku mau lepas dari gantungannya. Untung saja hati ini bukan buatan manusia jika tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi.

“Kenal Salim dimana?” Tanyaku kepada Indra

“Kami satu kampus dan pernah di kantor yang sama sebelum Indra pindah ke kantor yang baru.” Panjang lebar Indra bercerita.

Akhirnya rencanaku gagal, untung saja aku belum mengenalkan Salim sebagai calonku jika tidak, mau ditaruh dimana mukaku ini. Untuk Saling mengerti situasi.

“Terima kasih Salim, untuk tidak bercerita kepada Indra rencanaku.” Ucapku kepada Salim sebelum kami berpisah.

“Maaf aku tidak bisa membantu.” Kata Salim

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Salim, sekarang aku di dalam mobil Salim karena sewaktu datang tadi aku naik mobil Salim. Aku terus menatap keluar jendela.

“Kenal dimana dengan Salim?” pertanyaan Indra membuatku terkejut

“Teman kantor.” Jawabku singkat

“Trus?” Aku menatap Indra mengerti maksudnya tapi aku hanya membisu dan tidak dapat berkata apa – apa lagi..

***

“Sah, bagaimana saksi sah?” Suara Pak Kadi.

Aku mendengarkan suara Indra lewat penguat suara, dengan mantap Indra mengucapkan ijab Kabul dalam satu napas. Tidak ada keraguan sedikitpun.

“Ternyata jika jodoh memang tidak bisa di tolak. Bagaimana keras Aku berusaha menghindar dan mencoba mengagalkannya tetap tak berhasil. Akhirnya aku pasrah, Indra memang jodohku.

Indra memasangkan cincin nikah sebagai salah satu mahar nikah kami, aku mencium tangannya.

“Aisyah memang jodoh Indra.” Bisiknya setelah mencium pucuk kepalaku.

Aku diam seribu bahasa tidak bisa berkata – kata.***

 

 

Tinggalkan Balasan