“Ain mau kemana?”
“Ain mau menginap di rumah Ayah, Abang Adnan mau keluar kota. Tidak mungkin Ain di rumah sendiri, Ain takut melahirkan di rumah sendiri Ayah.” Terpaksa ucapan dusta yang keluar dari mulutku, jangan sampai Ayah menjadi cemas dengan masalah rumah tanggaku.
“Adnan , berapa lama Keluar kota. Tak bisa di tunda, Ain hanya menunggu hari.” ucap Ayah kepada Bang Adnan.
Aku melihat Bang Adnan gugup, bingung ingin menjawab apa atas pertanyaan Ayah.
“Sering sekali Adnan tidak di rumah kebelakang ini.” Lanjut Ayah.
Aku memandang Bang Adnan, netraku menunggu jawaban apa yang akan Bang Adnan berikan atas pertanyaan Ayah.
“Kalian baik – baik sajakan?”
“Ain baik – baik saja Yah, entahlah dengan Bang Adnan?” lirikku ke arah Bang Adnan.
“Ayah tidak mau menerima Ain di rumah Ayah lagi.” selaku mengalihkan perhatian Ayah.
“Ayo Yah kita pulang, aku memberikan koper dan tasku kepada Ayah. Setelah itu, aku mengambil Syafa dari gendongan Bang Adnan.
“Adnan tidak ikut mengantar?” tatapan bingung Ayah ke arah Bang Adnan
“Tidak Ayah, Bang Adnan akan terlambat kalau mengatar kami ke rumah Ayah.”
“Ayo Ayah.” Aku berjalan meninggalkan Bang Adnan dan mengajak Ayah untuk cepat meninggalkan rumah Bang Adnan. Ujung netraku melirik ke arah Bang Adnan yang salah tingkah.(Bersambung)
***
“Assalamualikum.” Ucapku sambil membuka kamar gadisku, berjalan menuju ranjang untuk meletakkan syafa di tempat tidur.
Aku mengelus perutku dengan perasaan pilu, netraku menatap syafa yang masih tertidur nyeyak. Senyum terukir di bibir mungilnya. Andaikan aku bisa meminta, mungkin aku lebih memilih tetap menjadi kecil sehingga tidak mengalami hal seperti sekarang ini.
Syafa kecil yang butuh kasih sayang Ibu memaksaku menikah dengan Ayahnya, tanpa cinta tapi jika ada rasa sayang mungkin pernikahan aku dan Bang Adnan berjalan lancar. Aku sendiri bingung dengan sikap Bang Adnan, di awal pernikahan aku berusaha memahaminya, memaksakan rasa sayang kepadanya walaupun aku tahu penolakan Bang Adnan akan kehadiranku tapi karena kebutuhan Syafa akhirnya kami selalu bersandirawa untuk tetap menjalankan pernikahan ini.
Aku memandang perutku membuncit, pasti orang mengira kami saling cinta tapi ini sebuah kesalahan karena aku memintanya dengan memohon untuk memberikan aku keturunan karena aku sudah lelah menjawab pertanyaan orang di sekitarku mengapa aku tidak kunjung hamil padahal sudah lebih dari setahun kami menikah.
Hanya sekali Bang Adnan menyentuhku, dan aku masih mengingat ucapannya
“Hanya sekali ini, jika tidak berhasil tidak ada yang kedua.” Ucapnya dengan nada ketus
***
Bunyi rintik hujan menyadarkan lamunanku, jam di nakas menunjukkan angka 3 pagi. netraku belum terpejam dari semalam. Dengan gontai aku melangkah menuju kamar mandi, mengambil wudhu, aku ingin mengadu pada-Nya.
Sentuhan di kepalaku membuatku membuka mata, menatap wajah tua Ayah dengan raut yang terlihat sedih.
“Ayah tahu kalian tidak baik – baik saja, ceritakanlah pada Ayah.” Ucapannya membuatku terisak.
Pelukkan Ayah membuat tangisku pecah, tak ada kata yang keluar dari mulutku. Terlalu pahit untuk menceritakan aib rumah tangggaku.
“Ayah, izinkan Ain untuk tinggal dengan Ayah lagi.” ucapku di sela tangis.
“Ini rumah Ain, Adnan bagaimana?”
“Assamualaikum.” Aku dan Ayah memandang ke arah pintu kamar
Bang Adnan berdiri di sana dengan raut wajah kusut, jelas sekali nertanya yang tidak menyentuh alam tidur.
“Walaikumsallam.” Jawab Ayah
“Tidak jadi ke luar kota Adnan?”
“Adnan mengambil cuti Ayah.” Setelah mengatakan itu langkah Bang Adnan mendekati Aku dan Ayah.
“Kalian Ayah tinggal dulu.” Setelah mengatakan itu Ayah pergi.
Aku masih duduk di sajadah, Bang Adnan mengambil posisi duduk di depanku. Sedikitpun aku tidak menatap ke arah Bang Adnan. Sentuhan di wajahku memaksa untuk melihat ke wajah Bang Adnan.(bersambung)