Mencumbu Kenangan (1)

Cerpen, Fiksiana60 Dilihat

Cahaya senja sudah beralih dengan gelapnya malam. Bintang mulai menampakkan dirinya, aku mencari rembulan tapi wajahnya tidak kelihatan, mataku terus mencari. Mencari ketenangan dengan memandang rembulan seolah aku bisa melihat wajah yang sedangku rindu segenap jiwa dan hatiku. Bunyi jangkrik bagaikan alunan music yang menemani malamku dengan rindu yang mendalam. Mataku masih mencari di mana agaknya rembulan menyembunyikan wajahnya, sehingga aku tidak bisa membayangkan wajah yang kurindu tanpa kehadirnya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan semua lamunanku, hembusan napas terasa menyesakkan dada, aku menutup jendela kamar tidak lagi mencari rembulan dan melupakan semua angan untuk menatap wajahnya lewat rembulan. Perlahan tapi pasti jendela terkunci aku berjalan menuju pintu, menekan pegangannya, pintu terbuka sosok bunda dengan senyum yang menyejukkan tapi tidak membuat hatiku gembira.

“Sudah mau tidur? tidak lapar? Temankan bunda makan dulu ya.” Pinta bunda dengan halus dan berharap.

Aku tersenyum, walaupun aku tahu senyumku hanya sebaris menarik bibir, tapi aku tidak mau bunda terlalu khawatir dengan keadaanku, aku mengangguk dan menutup pintu kamarku mengikuti langkah bunda menuju ruang makan.

Semua yang tersaji adalah makan kesukaanku dan dirinya, bunda tahu betul apa yang menjadi kesukaan kami. Aku menatap semuanya dengan mata nanar, sekuat tenaga aku menahan cairan panas yang sudah siap keluar di netraku, dengan cepat aku mengalihkan perhatian bunda

“Bunda, Aisyah ke dapur mau ambil kecap manis.” Ujarku cepat sebelum aku menangis di depan Bunda.

“Buat apa kecap manis.” Seru bunda terdengar

“Ais lagi sariwan jadi tidak bisa makan pedas.” Bohongku sambil berlalu cepat menuju dapur.

***

Sudah pukul satu dini hari, tapi mataku tidak bisa terpejam aku seperti ada yang menghalangi mataku untuk terlena sementara semua orang sudah lelap dalam tidur malam yang  panjang.

“Ais, sudah lebih dua tahun, bunda harap Ais mau membuka hati untuk yang lain. Bunda tidak muda lagi, tidak selamanya bunda bisa menemani Ais.” Ucapan bunda sewaktu makan malam tadi sungguh mengusik jiwaku tapi hatiku tidak mau berkompromi dengan akal sehatku. Meratapi kepergianya dalam hati mungkin hanya bunda yang tahu, sementara buat orang lain aku selalu tegar tanpa mereka melihat luka mengangga di dalam jiwaku.(bersambung)

Tinggalkan Balasan