Kasih Tak Berbilang.

Cerpen, Fiksiana59 Dilihat

Sudah hampir 2 tahun penyakitnya kambuh, bolak balik rumah sakit sudah menjadi santapan rutin yang harus dijalani. Jangan ditanya lelah, semuanya akan dilakukan hanya untuk kesembuhannya. Melihat badannya yang semakin hari semakin mengering hanya tinggal tulang yang dibaluti kulit keriput sungguh tak tahan netra ini menatapya berlama – lama.

Flashback

“Ayah sudah pulang teriakku.” Aku selalu merasa gembira jika Ayah pulang dari melaut. Dengan menenteng dayung beserta tangkapan hasil laut untuk kami jadikan makanan sungguh gembira. Langkah kaki kecilku berlari kearahnya, mengambil tangkapannya berlari mendapatkan Ibu di dapur sambil menunjukkan hasil tangkapan Ayah.

“Anak Ayah sudah pulang sekolah?” pertanyaan yang selalu dilontarkan setiap habis pulang melaut.

Dengan suara dan anggukan kepala aku menjawabnya, tidak lupa tangan kasarnya mengelus kepalaku lembut. Senyum merekah itu selalu membuatku merasa damai. Nelayan orang menyebut Ayahku tapi aku bangga akan dirinya.

***

“Maaf ayah anda menderita paru – paru basah.” Penjelasan dokter membuat stop jantung sebentar.

Akhirnya kami harus berdamai dengan semua yang sudah menjadi ketentuanya, Ayah tidak akan pernah ke laut lagi, itu yang terpikir dibenakku saat itu.

Waktu berjalan seakan tidak ada yang pernah terjadi, jika dirasakan badannya sudah segar kembali Ayah akan mulai melaut lagi. Mungkin kami orang kecil yang tidak tahu artinya kesehatan, yang ada hanya bagaimana mencukupi makan pagi serta malam kami.

Ayah tidak bisa melaut lagi, aku tidak akan bisa meneriaki memanggil nama Ayah dengan kencang ketika beliau pulang melaut, tidak ada lagi rezeki dari laut yang bisa dijual untuk kebutuhan sehari – hari bagaimana dengan nasib kami sekarang. Ibu dari tadi hanya menangis sementara aku sungguh tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Hari kami semakin kelam sudah tidak punya apa – apa untuk dimakan, jika dulu masih ada ikan asin yang tersisa dari hasil laut yang terjual masih bisa dimakan bersama nasi daripada makan nasi dengan garam lebih baik makan nasi dengan ikan asin. Tapi kini semuanya tidak ada lagi, aku menangis di dalam hati airmataku sudah tak sanggup mengalir membajir pipiku lagi.

Memandang Ibu dengan netra berat penuh air mat, apa yang harus aku lakukan sekolah menengah atas baru saja satu semerter aku jalani. Aku masih belum diterima bekerja dimanapun, sementara Ibu yang sudah menjadi tukanng cuci di empat rumah tidak mungkin menambah tempat Aku pasti Ibu tidak akan sanggup.

***

Sejak malam tadi angin sudah tidak bagu, musim angin sudah datang, musin yang membuat para pelaut tidak akan bisa melaut tapi dapur kami sudah hampir sepekan tidak berasap. bahkan sudah tiga hari Aku, Ayah dan Ibu terpaksa berpuasa karena hanya ada beras pemberian dari majikan tempat Ibu kerja karena kasihan melihat kami.

Aku bangun dari tidur tidak nyenyakku karena mendengar isak Ibu, dengan rasa mengantuk yang masih melanda mau tidak mau aku bangun berjalan pelan dengan rasa kantuk mendekati Ibu, memeluknya.

“Ibu mengapa menangis.” Ucapku berusaha menghibur Ibu dengan memberikan pelukan manjaku.

“Ayahmu pergi melaut.” Bagaikan petir aku mendengar ucapan Ibu.

Aku berlari menuju pintu mengejar Ayah ke bibir pantai, tapi aku tidak melihat apa – apa hanya warna laut yang gelap dengan gelombang yang menakutkan. Aku terduduk dibibir pantai terisak, netraku akhirnya mengeluarkan airmata yang sudah lama terpendam di dalam. Ini yang aku takutkan, Ayah pasti nekat melaut karena tidak tahan melihat Aku dan Ibu berpuasa hanya karena Ayah tidak di izinkan melaut kalau mau sembuh.

Aku masih mengingat ucapan Ayah kepada dokter ketika dia dilarang melaut.

“Apa yang mau kami makan jika saya dilarang melaut dok.” Ucap ayah terengah – engah sambil menahan sakit yang dirasakannya.

Aku memandang ke arah dokter yang lama menjawab pertanyaan Ayah.

“Ini untuk kebaikan Bapak.” Akhirnya aku mendengar ucapan dokter tapi tidak memberikan solusi buat kehidupan kami selanjutnya.

“Terima kasih Dok, kami permisi.” Setelah mengucapkan itu kami keluar dari ruang periksa dokter.

***

Bunyi petir sahut menyahut di langit kelam, hujan sudah turun dari semenjak tadi. Aku masih terduduk di bibir pantai dengan airmata bercampur dengan air hujan. Panggilan Ibu tidak aku hiraukan, aku terus memandang laut berharap sampan Ayah menepi. Biarkan Ayah tidak mendapatkan rezeki dari laut hari ini yang pasti aku mau Ayahku selamat, musim angin tidak baik untuk nelayan. Tapi karena himpitan hidup Ayah tidak menghiraukannya, aku takut aku kehilangan Ayah bukan karena penyakitnya tapi karena laut dengan segala misterinya.

“Ayaaaaaaaah.” Aku meneriaki nama Ayah sekuat tenaga berharap alam mendengarkannya dan mengembalikan Ayahku dalam keadaan selamat, biarkan kami mati bersama karena tidak makan jangan biarkan Ayahku mati sendiri karena ingin memberikan kami makan, Aku tidak ingin. Aku terus menangis tapi bibirku tak lepas menyebut doa meminta Ayah kembali.***

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar