Tidak ada kata maaf dalam cinta, terlalu naïf jika melukai mengores hati bisa terhapuskan oleh kata maaf. Aku memandang lelah pantai yang dari tadi menemaniku, suara deburan ombak seakan berpacu bersama degup jantungku yang tidak teratur semenjak tanpa sengaja aku melihat dirinya mersa mengecup pipi perempuan yang rasanya belum pernah aku lihat selama ini.
Aku tidak mau suozon, kuraih gawaiku menekan tombol hijau untuk menghubunginya tapi apa? Gawainya tidak aktif, sengaja tidak di aktifkan karena tidak mau di ganggu kebersamaan mereka. Aku sengaja melewati mereka seolah – olah aku terburu – buru dan menabraknya, menjatuhkan sesuatu untuk menarik perhatiannya.
“Maaf saya tidak sengaja.” . Ku kuatkan hati yang sudah berdarah ingin melihat reaksinya. Mulutnya sudah terbuka, aku pastikan dia akan melabrakku. Mata itu langsung terlihat terkejut dengan ke hadiranku.
“Jalan pakai mata dek, enak saja minta maaf. Untuk kami tidak luka.” Cerocos wanita yang bersamanya.
“Maaf.” Sengaja aku mengulang kata mata dan berlalu. Tepat berlari menjauh. Dan sekarang aku masih setia memandangi laut yang bergelombang, seperti hatiku yang bergelombang karena menahan sakit yang teramat sangat.
Sedari tahi gawaiku berbunyi, akhirnya aku mengambil gawaiku bukan untuk mengangkatnya tapi mengubahnya menjadi mode diam. Aku melihat sudah lebih dari dua puluh kali panggilan tidak terjawab dan entah berapa banyak chat yang tidak aku baca darinya. Senja hampir tiba, dengan perasaan yang enggan meninggalkan pantai tapi tidak mungkin aku tidur di sini, batinku. Aku boleh menghindarinya tapi aku tidak mungkin aku menghindari orang tuaku.
***
“Assalamualaikum.” Suaraku mengema, ketika aku mengucapkan salam.
Selalu seperti ini rumah kosong, sehingga suara bergema ketika bersuara. Sepi itu yang selalu aku rasakan. Maksud hati ingin menghindari kedua orang tuaku, tapi apa nanya aku hanya mendapati rumah kosong, setelah abangku berrumah tangga aku hanya kesepian di rumah besar ini, hanya sebagai penunggu rumah bakkan boneka tak bernyawa saja di perlakukan oleh orang tua.
Aku memandang cincin yang melekat di jari manisku, ini juga hasil dari keangkuhan mereka, bagaikan barang mereka menjodohkanku dengan anak rekan kerja mereka hanya untuk memperluas perusahaan yang kata mereka sudah mereka rintis dengan susah payah. Cincin ini mengikatku tapi tidak mengikat dirinya. Lihat saja sudah hampir tiga bulan kami bertunangan, tapi tidak pernah sekalipun Dia berusaha membina hubungan atau bertanya kabar kepadaku.
Gambaran tadi pagi sungguh membuat hatku luka, bagaimana tidak ketika aku mengajaknya untuk hanya saling mengakrabkan diri, dengan tegas dia mengatakan ada urasan kantor yang tidak bisa di tinggalkan. Akhirnya aku memutuskan untuk menghibur diri sekedar memandang laut untuk menghibur hatiku. Bukan ketengan yang aku dapat, malah hatiku bagaikan ombak memecah pantai hancur berkeping – keeping.
Melangkah lemah menuju kamarku, belum juga aku sampai di kamar, bunyi bel memecah keheningan dalam rumah besar ini, aku memanggil bibi, wanita separuh baya yang setia menemaniku dari aku kecil. Pembantu rumah tangga yang lebih menyayangiku daripada kedua orang tuaku. Langkahku ku ayun melanjutkan langkah yang sempat terhenti karena bunyi bel.
“Hana, calon suaminya mencari.” Baru saja aku mau menekan panel pintu kamar, bibi datang memberitahu ada yang mencariku.
“Bilang Hana sudah tidur bi.” Ucapku kepada Bibi, dan terus melangkah masuk ke kamarku
“Hana, kita harus bicara.” Dia Raihan tunanganku entah kapan dia sudah ada di depan kamarku.
Bibi yang tahu diri meninggalkan kami, aku melangkah keluar menutup pintu kamarku kembali. Melangkah menuju ruang tamu, Raihan berjalan mengikuti langkahku.
Hening, tidak ada yang membuka suara. Aku tahu dia memandangku tapi tidak sedikitpun pandanganku melihat kepadanya. Ada rasa muak yang menggunung yang tidak bisa aku gambarkan jika bisa menghilang maka aku akan menghilang daripada berada seruangan dengan lelaki yang tidak bisa menghargai perempuan.
Akhirnya aku berdiri, berniat meninggalkan ruang tamu
“Hana aku minta pengertianmu, masalah tadi siang aku memang bersalah. Tapi aku belum bisa memutuskan hubunganku dengannya.” Ucapnya setelah lama berdiam diri.
Aku mendengus, menghembuskan napas berat. Bukannya meminta maaf tapi meminta aku memahami apa yang dibuatnya. Tidakkah dia tahu jika ada yang mengenal kami, maka aku yang sebenarnya dipermalukan, pasti aku yang dikira menjadi pihak ke tiga.
“Seharusnya sebelum kita bertunangan, selesaikan masalahmu dengan perempuan lain jika tidak lebih baik kita putuskan ikatan ini.” Aku mengayun langkah berniat meninggalkannya, setelah meluahkan semua isi hatiku.
“Hana, tolong mengerti keadaanku. Tidak mungkin aku memutuskan hubungan yang sudah dua tahun kami jalani..” keluhnya
“Apa Raiahan fikir, hanya Raihan yang harus memutuskan hubungan dengan seseorang.” Senyum mirisku memandang sinis Raihan.
“Pulanglah, aku mau sendiri.” Aku melanjutkan langkahku menuju kamar setelah aku lihat Raihan memandangku dengan rasa terkejut yang amat sangat.
“Hana.” Aku masih mendengar Riahan memanggil namaku tapi aku tetap melangkah dan menutup pintu kamarku dan menguncinya.(bersambung)
***