Kumpulan Rindu (2)

Cerpen, Fiksiana105 Dilihat

Aku mencari arah datangnya suara, tapi hanya punggung Elma beserta ke dua orang tuanya saja yang bisa aku lihat dari tempatku berdiri, tidak mungkin aku menganggu kebersamaan mereka. Aku melanjutkan langkahku, sudah cukup bagiku mendengar celotehnya saja. sesampainya di tempat parkir aku meliha sosok Bang Azam yang tak jauh dariku memasuki mobil Rush putih miliknya, ada keperluan apa Bang Azam di pusat perbelanjaan ini, batinku.

Mobil kami melaju, dengan posisi mobil Bang Azam di depan, tak berselang lama mobil kami sudah sampai di rumah. Ada rasa keterkejutan di wajah Bang Azam, aneh melihat berada di belakangnya.

Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, aku berjalan menuju ke mobil Bang Azam yang sedari tadi masih setia berdiri di samping mobilnya setelah melihat aku berada di belakang mobilnya.

“Assalamualaikum Bang, sakit? Jam segini sudah pulang kantor?” ucapku sambil meraih tangan Bang Azam untuk menciumnya tanda takzimku kepada suami.

“Mau ambil baju, selama dua hari Abang harus ke luar kota, urusan kantor.” Penjelasan Bang Azam.

Seperti biasa setiap bulannya, Bang Azam pasti keluar kota selama dua atau tiga hari untuk mengurus keperluan kantor, tepatnya sejak tahun ke dua pernikahan kami.

“Biasanya pagi Bang berangkatnya, kenapa sekarang sore?” tanyaku kepadanya.

“Mau ikut, curiga?” ucapnya mengejek sambil mengodaku.

“Boleh ikut, besokkan minggu.” ucapku berharap

“Senin, selasa libur mengajarnya?” bukannya menjawabku malah balik bertanya membuatku terdiam.

“Lucu aja pas liburku, abang tidak keluar kota.” Ucapku pura – pura merajuk.

“Wa jangan yang aneh – aneh ya.” Ucap Bang Azam sambil menatapku lekat.

Sambil terkekeh aku berjalan masuk rumah menuju kamar kami untuk menyiapkan baju buat Bang Azam.

***

Masih menunggu, sudah lebih dua minggu aku menunggu Elma. Ditemani minuman boba yang lagi trens sekarang ini. Memadang lekat tempat permainan anak sekali – sekali kepalaku memandang ke kanan dan ke kiri mencari keberadaanya, menghembus napas dalam seperti hari ini aku harus menelan kekecewaan lagi.

Berdiri dari dudukku, melangkahkan kaki beranjak dari tempat ini. Sudah hampir pukul lima sudah lebih satu setengah jam aku duduk menantinya, langkahku terhenti ketika tanpa sengaja melihat sosok Bang Azam lani berjongkok menyetarakan tingginya dengan anak kecil di depannya.

Netraku menyepit, memfokuskan pandangan. Tidak ada salah bukankah Elma, wajah imut yang sedang aku cari keberadaanya. Langkahku mendekati mereka, belum juga sampai aku terkejut dengan wanita yang aku kenal sebagai Mama Elma dengan mesra memanggil Papa kepada Bang Azam. Langkahku terhenti mempehatikan mereka dengan degup jantung yang tiba – tiba saja menyerangku sehingga aku kesulitan untuk bernapas.

“Bang.” Hanya suara pekik kecil tapi bisa membuat Bang Azam mencari keberadaanku.

Aku bukan tipe yang suka mencari keributan di depan orang banyak, dengan tatapan netra yang seandainya bisa aku ingin menelan Bang Azam saat ini, penjelasan apa yang akan diberikannya atas semua yang dilakukannya dibelakangku selama ini, seandainya aku bukan seorang guru yang tidak memperdulikan etika sudah tentu aku akan mengamuk bagai singa yang diganggu kedamainya tapi aku memilih berlari sambil menghapus air yang turun deras membanjii pipiku.

Mobil merahku, seperti warna darah yang kini membanjiri hatiku berjalan laju menuju pantai, ya pantai satu – satunya tempat jika aku merasa kecewa atau lelah dengan kehidupan ini. (bersambung)

 

Tinggalkan Balasan