Bukan Cinta, Tapi Aku Terlanjur Sayang (part 1)

Cerpen, Fiksiana97 Dilihat

Bu, aku mau seperti Ibu setelah dewasa nanti. suara kecilku ketika itu berkata tanpa tahu apa artinya cinta. Ibu hanya tersenyum mendengar apa yang aku katakana, sambil mengelus rambutku penuh sayang

“Dewasalah dulu, baru Ais akan tahu artinya Cinta serta sayang buah hatiku.” Suara Ibu selalu terdengar merdu di teligaku.

Aku selalu melihat Ayah mencium lembut kening Ibu setiap pergi dan pulang dari manapun, sementara Ibu dengan pandangan mesra akan meraih tangan Ayah dan mengecupnya tanda Ibu sangat mencintai Ayah. Padangan yang selama 21 tahun ku lihat, sehingga aku selalu menjadikan Ayah sebagai sosok laki – laki yang menjadi idolaku. Aku akan mencari laki – laki yang seperti Ayah jika aku menikah nanti.

Harmonis aku sangat indah dalam pandangan mataku, menjadi anak mereka adalah hal yang membuatku bahagia serta bersyukur kepada – Nya karena diberikan orangtua yang sempurna. Terima kasih Ya Allah atas semua yang Engkau berikan untukku dan ke dua orangtuaku.

***

Pagi ini, aku mendengar isak tangis Ibu, tidak pernah Ibu menangis seingatku umurku sudah 22 tahun tapi aku tidak pernah melihat Ibuku menangis sehingga tidak sadar akan kehadirianku di dekatnya.

“Bu, ada apa?” Aku meraih bahu Ibu dan membawanya dalam pelukku.

Ibu masih terisak dan tidak berusaha menghentikan tangisnya, malah tangis Ibu semakin kencang membuatku merasa ada yang tidak biasa dari keadaaan Ibu.

“Ibu ada apa?” Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan Ibu, tanpa terasa airmataku juga sudah mengenang dipelupuk mataku, aku berusaha menahan airmataku, Aku tidak mau menambah gundah hati Ibu dengan meneteskan airmataku. Ibu masih diam seribu bahasa tidak menjawab pertanyaaku kepadanya. Akhirnya aku berdamai dengan perasaanku sendiri, ibu pasti akan menjawabku jika sudah siap, aku tidak mau memaksa Ibu untuk menjawab pertanyaanku.

Aku melihat jam dinding di ruang tengah rumahku, tempat dimana aku menemukan Ibu lagi terisak menangis duduk di kursi dengan berdekatan dengan meja sudut tempat telephon rumah terletak.

Jam menunjukkan pukul 5, biasanya jam segini Ayah sudah sampai di rumah dan duduk berdua dengan Ibu menonton TV layar lebar  yang diletakkan diruangan ini.

“Ayah di mana Bu?” Aku bertanya kerana tidak melihat keberadaan Ayah seperti biasanya. Hatiku menjadi tidak tenang jangan – jangan isak tangis Ibu ada hubungannya dengan ketidak hadirian Ayah saat ini.

“Bu, Ayah mana?” Sekali lagi aku bertanya kepada Ibu

Ibu bukannya bukan menjawab pertanyaanku tapi tangis Ibu bertambah kencang. Aku memeluk Ibu lebih erat, Ibu membutuhkan aku saat ini. Ibu pasti tersangat sedih, jika terjadi sesuatu dengan Ayah.

Aku mendengar suara mobil dari arah depan rumahku, siapa yang datang. Belum juga aku  melepas pelukanku dari Ibu, aku mendengar suara langkah masuk dan menuju ruang tengah tempat Aku dan Ibu berada, dan aku mendengarkan suara salam.

“Assalamualaikum.” Itukan suara Ayah

Ayah tidak baik- baik saja, kenapa Ibu terisak menangis fikirku, Aku sampai lupa menjawab salam Ayah karena memikirkan mengapa Ibu menangis”

“Ayah.” Aku menyebut nama Ayah ketika Aku melihat Ayah tidak datang sendirian, ada seorang anak remaja bersamanya. Kira – kira 17 tahun umurnya, cantik dan anehnya aku melihat kemiripan antara aku dan dirinya.

“Ayah siapa dia?” Aku bertanya kepada Ayah

“Masuklah, sana salam Ibu dan Kakakmu.” Perintah Ayah kepada remaja putri yang dibawanya.

Remaja putri itu berjalan ke arah Aku dan Ibu, meriah tanganku dan menciumnya baru meraih tangan Ibu dan menciumnya juga.(bersambung)

Tinggalkan Balasan