Isak tangis tak bisa berhenti dari mulut Ibu, setelah melihat dan memastikan bahwa mayat yang dihadapan kami saat ini benar mayat adikku Lia. Sementara Ayah langsung terduduk lemas bagai tidak bertulang,
“Lia kenapa harus kau yang pergi nak, kenapa tidak Ila saja.” Perkataan Ayah membuatku memandang wajah Ayah serius, apa maksud perkataan Ayah. Teganya Ayah mengatakan itu, Ibu menarik tanganku ketika melihat aku berusaha memegang legan Ayah dan hendak bertanya kepada Ayah apa maksudnya mengatakan Itu. Sedemikian bencinya Ayah kepadaku sehingga Ayah lebih rela Aku yang mati daripada Lia.
Betapa bodohnya aku, tentu Ayah lebih memilih aku yang mati daripada Lia anak kesayangannya. Aku tidak tahu dimana letak kesalahanku, dimana kasih sayang yang pernah aku rasakan dari Ayah, ah kepalaku penuh dengan tanda tanya ada apa dengan Ayah.
Airmata yang keluar dari mataku bukan hanya sedih karena kepergian adikku Lia tapi juga perlakuan Ayah terhadapku dihadapan tamu yang datang untuk melawat aku masih bisa melihat pandangan benci Ayah kepadaku, saking takutnya aku di marahi Ayah di depan orang ramai Ibu sampai meminta kepadaku untuk tidak berada diruang dimana adikku Lia di semanyamkan sebelum dibawa ke tanah pemakaman.
Terpaksa aku menjadi orang terakhir yang menaburkan kembang dipusara adikku, sambil menadahkan tangan aku berdoa semoga Lia tenang di sisinya dan diampuni segala dosanya. Berdiri dari dudukku mengucapkan salam terakhir sebelum aku meninggalkan pemakaman dimana tempat peristirahatan terakhir Lia.
***
Setelah semua tamu pulang habis tahlilan, hanya tinggal Ayah yang masih terduduk ditempatnya. Tiba – tiba Ayah berdiri dan berjalan kearahku, pipiku teras panas. Ya Allah apa salahku sampai Ayah menampar wajahku. Belum hilang rasa panas habis di tampar Ayah aku merasakan perutku sakit, sekali lagi Ayah melampiaskan marahnya padaku. Bukan hanya pipiku sebentar tadi perutku yang menjadi sasaran kemarahan Ayah dengan menendangnya, Ibu berusaha melindungiku dengan cara menjadikan badannya tameng supaya Aku tidak menjadi sasaran kemarahan Ayah.
“Kenapa tidak Engkau saja yang mati. Kenapa harus anakku yang mati, semakin besar dirimu semakin aku mengingat bagaimana Ibumu mengkhianati aku dan lahirlah dirimu.”
“Ayah jaga mulutmu.” Teriakan Ibu seakan mengingatkan Ayah sesuatu dengan menghembus napas berat Ayah meninggalkan Aku dan Ibu.
Aku menatap Ibu, berharap Ibu akan memberitahuku apa arti kata – kata Ayah. Tapi aku apa yang aku harapkan dari Ibu tidak terjadi.
“Masuklah ke kamarmu! Ibu akan menyusul Ayah.” Perintah Ibu kepadaku.
“Ibu.” Jangan membantah pergilah istirahat
Ibu membantu aku bangun dan membimbing tanganku sampai kepintu kamarku, mencium dahiku sambil berucap
“Tidurlah, jangan pikirkan apa yang Ayah katakana.” Setelah itu Ibu meninggalkanku dan menuju kamarnya.
Aku menutup pintu kamarku, tapi pikiranku tidak lepas dari perkataan Ayah. Apa maksud Ayah, apakah aku bukan anak Ayah. Terus Aku anak siapa? Dimana Ayahku, bagaimana aku bisa menjadi anak Ayah dan Ibu yang selama ini mengasuhku. Sekarang bukan hanya kakiku yang sakit, tapi seluruh badanku dari kepala, hati, janntungku semuanya merasakan sakit. Aku berusah meraih tempat tidurku dengan terseok akibat salah satu kakiku masih tergips.
Merebahkan badanku di ranjang, memandang langit – langit kamar mencari jawaban dari semua kata – kata Ayah tapi aku tidak menemukan jawabannya.(bersambung)