Hatiku, Batu.(Part 1)

Jangan biarkan hatiku yang retan ini tertusuk duri mu kembali, biarkan dekapanmu itu mengusir rasa dingin yang selama ini menyelimuti seluruh harapanku. Ucapku hanya bagai angin lalu bagimu, buktinya kau hanya mengingatnya sewaktu kau kepanasan. Lihatlah karena aku dingin dalam dekapannya kau lupa akan hatiku yang kembali kau biarkan tertusuk duri penghianatanmu.

Bahterah rumah tangga yang sudah belajar selama 15 tahun, walaupun tak ada cahaya karena kehadiranya bukankah kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Jangi yang kau ikrarkan setelah buah dari cintaku hanya dititipkan dalam rahimku sebanyak 3 kali tapi belum sempat kita menimang mereka sudah diambil oleh yang Maha Kuasa.

Masihkah kau ingat bagaimana kau membuat aku percaya, dalam keterpurukan ku terluka karena aku menganggap Dia, Maha Kuasa tidak adil kepada kita. Mengapa Dia, menitipkan hanya dalam hitungan bulan saja. apa salahku, semua yang diperintahkan dokter aku turuti. Di suruh bedrest aku bedrest, sehingga aku diberhentikan dari kantor aku tidak berkeluh kesah itu semua karena dirimu yang berjanji setia mendampingiku.

Tapi semua itu musnah, ini bukan yang pertama aku menanamkan duri dihatiku. Kau ingat bagaimana yang pertama, Allah maha adil aku tanpa sengaja melihat kau dengan tanpa bersalah mengandengnya masuk kesana. Aku menunggumu dilobi hampir seharian, karena aku takut untuk menangkap basahmu didalam kamar terkutut itu. aku menunggumu di lobi, dengan seribu pandangan mata yang menatapku curiga dan tanya.

“Mengapa wanita berjilbab duduk di lobi hotel.” Pasti itu kata mereka.

Resipsionis yang berganti shippun memandangku iba, aku tahu itu dari tatapan matanya yang tidak berani menanyakan kenapa aku terlalu lama menunggu kenapa tidak langsung ke kamar saja, ya pasti itu yang mereka pikirkan batinku. Batin dari seorang wanita yang suaminya mendua sangat tajam tidakkah kau tahu itu, suamiku.

***

Lima tahun setelah itu, angka 15 tahun tak membuatku lupa kata manismu berjanji tidak ada lagi duri dalam bahtera yang dikayuh walaupun kau pernah khilaf katamu itu tidak akan terjadi lagi.

Aku belum mati, kuburku belum digali bagaimana ia akan kering. Itu pepatah lama untuk duda yang ingin menganti suri rumah tangganya. Tapi kau menguburku dalam hidupku sehingga aku serasa mati saja.

Kali ini lebih parah, kau tidak hanya membawa dia yang menjadi sainganku tapi juga membawa buah cinta kau dan dia. Rumah ini bukan lagi bahtera milik kita jika kau membawanya sebagai penumpang di dalamnya. Kering sudah wadah airmata di netraku. Dia tidak berisi, sehingga saat ini aku tidak bisa menangis, kau membawanya dengan alasan supaya aku bisa mengasuh anaknya seperti anakku sendiri. Kau menjadikan aku babu bagi anakmu dengan wanita lain, lebih baik ibu sambung, aku yang menjaganya daripada aku hanya menganggu dirumah itu katamu.

Tak pernahkah kau berfikir aku punya hati, raga ini bukan terbuat dari baja yang tahan akan terjangan badai rumah tangga kita. Dengan santai, tak menggunakan otakmu kau berkata, belajar menjadi Ibu biar kau tidak sendirian. Bukankah kau pernah berjanji, selama kau ada aku tidak akan sendirian. Bagaiman bumi dan langit bicaramu selalu berbeda. (bersambung)

***

Tinggalkan Balasan

2 komentar