Perjalanan dari ruman sakit ke rumah Indra hanya 45 menit, kami berhenti pada rumah yang besar ukurannya untuk Indra yang hanya tinggal berdua dengan Ibunya. Design rumah yang apik, dengan halaman yang membuat siapa saja yang memandangnya pasti akan merasa senang dan nyaman. Aku melangkah memasuki halaman rumah dengan Indra yang masih mendorong Ibu di kursi roda.
Aku dikagetkan oleh suara ibu Indra
“ Bagaimana Cahaya? Cahaya suka dengan bunga?”
“ Kalau suka mulai nanti semua bunga ini Cahaya yang akan mengurus dan merawatnya.”
Aku tersipu malu mendengar perkataan Ibu Indra. Pemandangan yang menyejukkan mata dan hati, tidak bosan untuk berlama –lama di taman ini batinku.
Hayalanku sampai kemana – mana, duduk di taman sambil melihat anak – anak kami bermain di sana, sambil sekali – sekali aku akan melarang mereka untuk memetik bunga yang sedang berkembang. Semyum kecil terhias di bibirku, anak – anak siapa yang aku bayangkan. Adakah anakku bersama Indra, apakah itu akan terwujud. Entahlah aku hanya bisa menghayalkannya untuk saat ini.
Masuk ke ruang tamu yang tertata rapi, ada beberapa gambar kabah dengan ukuran besar dan ayat – ayat suci yang menghiasai ruang tamu ini, semakin kedalam ada ruang keluarga dengan sofa tunggal dan di depannya ada permaidani yang ada bantal besar sebanyak 2 buah dan ada bantal kecil yang berada diantaranya. Sangat nyaman untuk istrihat keluarga. Aku menghentikan kakiku di ruang keluarga ini, aku tidak tahu apakah aku akan masuk kekamar Ibunya Indra, mungkin karena tidak mendengar kakiku melangkah Indra memandang kearahku sambil memalingkan wajahnya kebelakang.
“ Kenapa berhenti, kamar Ibu masih didepan sana, Indra menunjukkan arah kamar Ibu dan terus berjalan. Mungkin karena masih belum mendengar langkah mengikuti mereka. Indra menghentikan dorongan pada kursi roda Ibu, aku melihat Ibu meminta Indra untuk memutar kursi rodanya ke arah dimana aku berdiri.
“ Ayo Ikut kesini, ke kamar Ibu.” Ibu Indra melambaikan tangannya ke arahku menyuruh aku mendekatinya. Ya dari tadi aku berjalan dibelakang Indra yang mendorong kursi roda Ibunya. Dengan malu – malu aku mendekati Ibu dan Indra, setelah aku berada di dekat mereka. Ibu menyuruh aku untuk jalan di depan dan membukakan pintu kamarnya. Aku berjalan duluan untuk membuka pintu kamar Ibu.
Sambil tersenyum Ibu meraih tanganku setelah melewati tempat dimana aku berdiri. Meraih tanganku dan mengajak aku masuk ke dalam kamarnya.
Kamar yang sangat tertata rapi, tempat tidur dengan alas berwarna biru laut muda disamping kiri dan akan ada nakas, lurus tepat di ujung kaki tempat tidur ada TV 32 inci yang tergantung dan dibawahnya ada meja yang dihiasi dengan gambar – gambar keluarga. Di sebelah kiri TV ada pintu, pasti itu pintu ke kemar mandi, aku 1 buah meja dan 2 buah kursi yang terletak di dekat jendala kamar yang menyuguhkan pemandang taman samping yang membuat orang betah duduk di sana. Aku terkejut mendengar suara ibu memanggil namaku
“ Cahaya ayo duduk di sini.” Ibu memanggil aku untuk duduk disamping tempat tidurnya. Aku tidak melihat Indra disana, sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Mungkin ibu mengerti dengan arah pandagan mataku mencari Indra.
“ Ayo melamunkan siapa?, sampai tidak sadar Indra keluar kamar ibu Cahaya tidak perasan”. Aku malu mendengar perkataan Ibu. Sambil berjalan mendekati ibu dan duduk disamping tempat tidurnya.
Ehem, aku mendengar suara deheman dari arah pintu kamar Ibu
“ Ayo ibu pasti menjelek – jelekkan Indra tu.”
“ Siapa juga yang mau menjelek – jelekkan kamu, memang jelek gitu.” Cibir Ibu kearah Indra.
Aku tersenyum mendengarkan perkataan ibu, nyamannya melihat ke akraban ibu dan Indra. Indra berjalan menuju ke arah Aku dan Ibu, sambil membawa mapan yang berisi teh hangat dan sepiring campuran goregan.
“ Jadi malu, seharusnya Cahaya yang membuatkan the untuk Ibu dan Indra.” Kataku ketika melihat Indra membawakan teh dan sepiring gorengan.
“ Sudah tidak sabar untuk melayani Indra ya ?” sekali lagi aku jadi malu dan tersipu mendengar perkataan Ibu. Padahal maksud perkataanku tadi, akukan perempuan masak Indra yang membuatkan tehnya. Tapi malah di tanggap lain oleh Ibu Indra. (bersambung)