Kemarau panjang tidak lagi melanda bumi tempat aku berpijak, alam maya sepertinya tidak lagi bisa diprediksi keberadaanya. Jika dulu bulan yang berakhiran “Ber” maka hujan akan turun sekarang tidak lagi. Bisa saja sepanjang tahun kemarau apa malah sebaliknya sepanjang tahun turun hujan.
“Bang tahun ini kita tidak pulang kampung lagi?” tanyaku kepada suami tercinta, hanya gelengan kepala yang aku terima tidak ada jawaban dari mulutnya.
Sudah 4 tahun kami tidak pulang kampung maklum tahun kemaren semenjak covid -19 melanda ada larangan untuk pulang kampung. Tahun ini kami juga tidak pulang kampung, aku tidak berani menanyakan alasan apa sampai kami tidak pulang kampung tahun ini.
Sejak covid – 19 melanda suamiku sudah beberapa kali berganti pekerjaan. Dapur kami lebih sering digunakan untuk mengoreng telur, entah itu dimata sapi atau didadar dengan sayurnya kami ambil dari hasil tanaman dipekarangan rumah, seperti daun ubi, pepaya serta kacang panjang dan timun.
Pekarang rumah sudah penuh dengan taman yang aku tanam dipoliback tersusun rapi, ibu – ibu sibuk dengan bunga mereka aku sibuk dengan menanam sayur dan cabe untuk kebutuha dapur. Jika memungkinkan aku ingin saja memelihara ayam tapi itu tidak mungkin sehingga aku tidak perlu repot memikirkan lauknya sementara pauk sudah tersedia.
Tadi sore sambil menunggu suamiku pulang dari kerja serabutannya aku memanen cabe dan kacang panjang, lumayan untuk tiga hari kedepan aku tidak perlu memikirkan sayur. Aku menanti suamiku semoga ada rezeki untuk membeli telur atau ikan yang ku pesan sebelum suamiku pergi bekerja.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore tapi aku belum nampak banyangan suamiku tidak seperti biasanya pukul 5 suamiku sudah ada di rumah. Hatiku mulai gelisah, tapi tidak dapat berbuat apa, mau menghubungi tapi baik aku dan suami tidak punya gawai. Sudah seminggu gawai yang hanya satu – satunya kami jual untuk kebutuhan dapur, anakku menangis sewaktu gawai yang akhir – akhir ini lebih banyak dipakainya untuk sekolah daring.
Azan magrib sudah berkumandang, tapi sosok yang kutunggu belum juga muncul. Tiba – tiba aku mendengar suara sirene ambulance yang mendekat dan akhirnya berhenti di depan rumahku.
Detak jantung berbunyi kencang seperti habis lari mengikuti lomba marathon.
“Ya Allah semoga bukan.” Batinku cemas
Aku berlari menuju pintu depan sambil menekan panelnya, pintu terbuka ternyata mobil ambulance mengantar anak tetangga depan yang baru dari rumah sakit. Aku bernapas lega tapi tak lama, kembali aku cemas sudah hampir isya tapi suamiku belum sampai juga.(bersambung)