Tinggal Kenangan (Part awal)

Cerpen, Fiksiana60 Dilihat

Pernikahan sesuatu yang sacral, janji saling menjaga untuk bahagia sampai ke janah tentunya menjadi idaman setiap insan yang bernyawa. Termasuk aku yang selalu mendambakan ada seseorang yang mau berjanji akan membawakan surge sampai ke janah.

Waktu berlalu aganku terus memudar tak ada lagi impian untuk menuju pelaminan, sejak dia membawa pergi mekar cinta dan mengantikannya dengan meremuk redamkan hati dan jantungku menjadi berkeping – keeping.

Aku selalu melewati jalan ini, kadang bersama satu – satunya temanku Ira tapi hari ini Ira sakit aku berjalan sendiri sambil menundukkan kepala. Tak ada yang perlu kuperhatikan karena jalan ini sudah hampir tiga tahun setengah aku lewati. Tiba – tiba langkah terhenti ada sosok yang menghalangi langkahku, aku mengangkat kepalaku melihat sosok yang berdiri tepat didepanku.

Netraku memandangnya penuh tanya, siapa dia? Mengapa dia menghalangi langkahku.

“Permisi, boleh tunjukkan saya alamat ini.” Dia menyodorkan gawainya memperlihatkan chat yang menuliskan satu alamat di sana.

“Mengapa tidak pakai share lokasi saja.” Tanyaku heran kepadanya

“Ampun kenapa sampai lupa.” Dia berkata sambil menepuk keningnya.

“Maaf sudah menganggu Anda.” Setelah mengataan itu dia berlalu dari hadapanku.

“Sempurna.” Batinku memuji sosok yang tadi menghalangi langkahku. Sendainya?

Flashback off

***

“Sudah sehat benar Ir?” tanyaku kepada Ira

“begitulah.” Jawaban singkat Ira

Kami melangkah menuju kampus, aku harus mengimbangi langkah Ira yang masih terlihat lemah. Tidak seperti biasanya ada canda dan tawa ketika kami melewati jalan ini, kondisi Ira membuat kami lebih banyak berdiam diri.

“Maaf.” Suara seseorang mengejutkan Aku dan Ira

Serantak kami mencari asal suara

“Abang kenapa disini?” Suara Ira terdengar

“Mencari Ira.” Yang ditanya menjawab santai

“Ais kenalkan ini Bang Akmal, sepupuku.” Ira memperkenalkan Aku dengan sepupunya.

“Sudah kenal.” Suara Bang Akmal menimpali

“Kenal dimana?” Ira bertanya

“Beberapa hari yang lalu kami bertemu.” Ucap Bang Kamal sambil menjulurkan tangannya untuk menyalami aku.

“Katanya sudah kenal, kok masih salaman.” Kesal Ira kepada sepupunya

“Kemaren kenalannya belum resmi, hari ini baru resmi.” Ucapan Bang Indra santai sehingga menerbitkan senyum malu dibibirku.

***

Sejak saat itu kami sering bertemu, kadang ada Ira, kadang hanya aku sendiri saja. tak ada yang istimewa pada awalnya, karena aku menganggap Bang Akmal hanya berbasa – basi saja. seperti teman – teman cowok lainnya mendekati hanya untuk lebih dekat dengan Ira. Ya Ira sahabatku, cantik bagaikan bidadari dengan semua yang diinginkan seorang gadis ada padanya. Badan tinggi semampai, mata bulat dengan bulu mata lentik dan bibir seksi serta pipi bak pauh putih melepak.

Hari ini aku bertemu dengan Bang Akmal sendiri, Ira sudah keluar dengan seseorang yang baru pendekatan dengannya.

“Assalamualaikum.” Salam seseorang akhirnya memaksaku keluar dari kamar kos. Maklum malam minggu semua anak kos pergi bersama seseorang yang special hanya aku yang kayaknya betah di kos. Bukan betah tapi membetahkan diri karena tidak ada mengajakku pergi lebih tepatnya tertarik dengan diriku.

“Walaikumsallam.” Menjawab salam sambil membuka pintu depan rumah kos.

“Bang Akmal?”  Tanyaku heran melihat kehadirannya di malam minggu seperti ini.

Biasanya Bang Akmal datang tidak pada malam minggu, itu karena ada titipan atau apalah yang berhubungan dengan Ira. Jika Ira tidak ada hanya sekedar basa – basi Aku menemaninya karena Bang Akmal selalu membawa makanan sehingga tidak mungkin aku mengusirnya pulang setelah mendapatkan makanan, sungguh terlalu.

“Iranya pergi Bang.” Sebelum Bang Akmal bertanya aku sudah terlebih dahulu berbicara.

“Abang tidak mencari Ira.” Ucap Bang Akmal, membuatku bingung mendengar perkataannya.

“Bolehkan Bang Akmal mencari Ais?” ucapnya lagi

“Ada perlu apa ya Bang?” Tanyaku bingung

Bukanya menjawab pertanyanku, Bang Akmal malah balik bertanya

“Memangnya harus ada alasan ya untuk mencari Ais?” ucapanya membuatku bertambah bingung dibuatnya.

“Nih ada makanan, disalin dulu. Abang mau makan bersama Ais.” Aku mengambil bungkusan yang diberikan Bang Akmal dengan perasaan masih bercampur aduk. Tapi aku tetap menyalin Mie goreng yang dibawa Bang Akmal dan menyajikannya. Bang Akmal langung menyantap mie yang aku sodorkan kepadanya.

“Kok mienya belum di makan?” pertanyaan Bang Akmal membuatku gagap karena dari tadi aku hanya memandang Bang Akmal makan dengan perasaan aneh, kenapa malam minggu begini mencariku ada perlu apa?(bersambung)

Tinggalkan Balasan