Berjalan menyusuri jalan menuju tempat pemberhentian bus yang tidak jauh dari rumah. Sudah hampir beberapa pekan ini aku terpaksa berjalan kaki untuk pergi ke sekolah.
“Tenang sayang, setelah pensiun Abang akan selalu mengantar/jemput sayang kesekolah.” Hatiku miris mengingat janji suamiku dulu
Suamiku yang dulu berjanji akan setia mengantar dan menjemput aku pulang dari sekolah sepertinya tidak lagi menepati janjinya. Bukan hanya tidak menepati janjinya untuk mengantar dan menjemput diriku tapi juga sudah hampir sepekan pula ia tidak pulang kerumah.
Kami sama – sama pegawai negeri tapi suamiku sudah 3 tahun pensiun dari kedinasan, tapi bukan berarti ia, suamiku berhenti bekerja. Sebentar lagi aku juga akan pensiun , entahlah janji untuk menunggu dan merawat cucu – cucu kami tidak ditepati.
“Bu, aku mendapat tawaran untuk bergabung bersama teman yang mendirikan perusahaan.” Itu kata suamiku baru beberapa bulan saja ia pensiun.
”Katanya mau istirahat, mau berkebun dan mengelola tanah yang tidak sampai sehektar.” Aku sempat protes, ketika suami menyampaikan alasan untuk bekerja lagi.
“Aku hanya ingin mengisi masa pensiunku dengan hal – hal yang positif saja, kerjanya juga tidak tiap hari paling jika ada rapat atau apalah.” Suamiku menyakinkan ku untuk member izin ia bekerja lagi.
Aku tidak mau dibilang sebagai istri yang mengukung kebebasan suami, apalagi cerita teman – teman orang pensiun jika hanya duduk dirumah akan membuat stress. Akhirnya aku mengizinkan suamiku untuk ikut berbisnis dengan temannya. Waktu berjalan hanya 3 bulan suamiku menepati janjinya bekerja sambilan saja.
“Pa, belakangan ini tambah sibuk saja.” ujarku protes ketika suamiku mulai pulang terlambat.
Bulan ke empat, suamiku sudah seperti orang kantoran saja, sudah ada jam berangkat dan jam pulangnya. Setahun berlalu, akhirnya aku merasakan bahwa suamiku lebih sering di luar rumah daripada berada dirumah. Dan yang lebih parahnya lagi, jam terbang suamiku melebihi jam terbang sewaktu ia menjadi pegawai negeri.
“Pa, jangan terlalu capek ingat umur.”
“Aku masih kuat, jangan dilarang – larang bekerja nanti aku malah sakit.”
“Ibu hanya mengingatkan saja, sekarang Papa lebih sering tidak di rumah.” Ujarku sambil merajuk
“Bukannya bersyukur suami bekerja setelah pensiun, malam ngomel.” Rutuk suami sambil meninggal aku dengan wajah kesalnya
“Mau kemana Pa?”
“Mau keluar ada janji dengan orang.” Jawab suami dengan suara kesal.
Jika aku menuntut janji suamiku tentang masalah keberadaannya dirumah dan janji untuk mengurus tanah kami yang tidak sampai sehektar, jawaban yang kuterima sangat menyakitkan.
“Aku bukan tipe pekerja yang harus mencangkul dan tangan berlumpur dengan tanah. Setiap aku mengingatkanya pasti terjadi pertengkaran kecil yang mewarnai rumah tangga kami.
***
Tok tok tok pintu rumah di ketok
“Nenek di mana Atok, kenapa sepi sekali rumahnya Nek.” Suara teriakan cucu – cucuku bergema ketika aku membuka pintu rumah.
Semua ceria mereka tidak membuat bibirku ikut tersenyum ketika mengingat pertanyaan mereka kenapa rumah sepi dan kemana atok mereka berada.
“Sehat Ma?” kecupan pipi kanan kiri dari anakku sungguh aku tidak sanggup untuk menahan air mata lagi, setetes air menetes di sudut netraku.
“Papa tidak di rumah ya Ma.” Ucapan anakku hanya mendapat jawaban anggukkan kepala dariku.
Suara ceria cucuku membuat anakku menyeret aku ke sudut rumah, aku sedikit terkejut dengan apa yang di lakukan anakku.
“Syahnaz lihat Papa, dua hari yang lalu di Mall bersama seorang cewek. Umurnya jauh di bawah Syahnaz Ma.” Bagaikan petir aku mendengarkan ucapan anakku.
Manik mataku mencari kebenaran dari mata anakku, dan aku tidak melihat kebohongan di sana.
“Sebaiknya Mama tanyakan hal ini kepada Papa, Syah jijik melihat papa merangkul cewek yang seharusnya menjadi anaknya.” Ucap berapi Anakku.
“Syah, Mama tidak mau ini syahnaz ributkan dulu, Mama akan mencari bukti dulu. Syahnazkan tahu Papa tidak pernah bertingkah aneh selama tiga puluh lima tahun pernikahan kami.” Aku mencoba memberikan pengertian kepada putriku.(bersambung)