Akhirnya Bahagia Itu Datang (1)

Terbaru271 Dilihat

“Abang talak Ain dengan talak satu.” Bergetar seluru tubuhku bagaikan ada gempa bumi serta puting beliung yang memporakperandankan hidupku saat ini.

Aku memandang dia yang bergelar suamiku, bukan sekali tapi sudah beberapa kata pisah terkeluar dari mulutnya jika aku mepertanyakan kemana perginya dirinya selama beberapa bulan kebelakang ini. Bukannya aku tidak percaya dengan alasannya ada pekerjaan tambahan tapi tidakkah waktu enam bulan terlalu lama untuk kerja tambahan yang mengusik kebersamaan kami, belum lagi perutku yang semakin membesar yang membutuhkan perhatian dan kehadirannya.

“Uruslah ke KUA, jika Abang tidak punya malu.” Senyum miris tercetak di bibirku, otak suamiku sudah miring, percuma sholat tunggang tunggit jika hal sepele seperti ini dia tidak tahu.

Aku meninggalkan suamiku yang sepertinya baru tersadar dengan alam nyata, menceraikan istri dalam keadaan hamil mustahil.

Aku berjalan menuju kamar, meraih koper yang selalu terletak di atas lemari dengan susah payah. Tidak ada lagi air mata, lelah jiwa dan lelah raga, menyusun satu persatu pakaian ke dalam koper, selesai batinku. Aku meraih jilbab instanku, memakainya dan berjalan keluar kamar, tujuanku hanya satu rumah ayah, ada pilu menjalar di sudut hatiku, pasti ayah akan kecewa bagaimana tidak aku sudah menolak ketika dipaksa untuk turun Rajang hanya karena harus mengantikan kakakku yang meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Langkahku terhenti, semula tujuan pintu depan aku beralih ke arah kamar Syafa anak kakakku yang sekarang menjadi anakku.

“Sayang bangun, kita kerumah atok.” Lelap tidur syafa, tak terganggu dengan pertengkaran aku dan ayahnya. Aku memandang sayu, sekali lagi anak 3 tahun ini harus kehilangan kasing sayang dari salah satu orangtuanya.

Lamunanku berjalan, mengingat dan mengenang selama tiga tahun ini tidak pernah aku melihat suamiku, ayah kandung syafa tulus menyayanginya. Kadang aku berfikir Bang Adnan, suamiku tidak menyayangi anaknya syafa. Gerakan kecil dari syafa membuat bibirku tersenyum.

“Kenapa kita kerumah Atok, bunda?” suara kecilnya selalu membuatku gemas

“Bunda rindu atok, kita tidur di rumah Atok, Syafa maukan?” tanyaku padanya

“Mau bunda.” Sambil berusaha berdiri dari bangunya.

Bergegas aku memasukkan semua baju syafa pada tas yang memang selalu tersedia di kamarnya. Dengan bebab perutku, aku tetap mengedong syafa. Meletakkan tas syafa di atas koper derekku. Susah payah aku berjalan, melintasi bang Adnan yang masih terduduk di ruang tamu dengan memegang kepalanya. Bunyi koper yang ku tarik menarik perhatian Bang Adnan, netra Bang Adnan bertabrakan dengan netraku, aku membuang pandanganku terus berjalan menuju pintu. Dengan susah payah aku membuka pintu, akhirnya sebelum melangkah keluar.

“Ain mau kemana?” suara berat Bang Adnan mengema

“Abang lupa sudah menalak Ain.” Ucapku pelan

Seakan baru sadar akan kesadaranya Bang Adnan mencegah kepergianku, dengan menarik badanku dan mengambil Syafa dari gendonganku. Bersamaan dengan itu kami mendengarkan salam dari luar rumah.

“Walaikumsallam Ayah.” Aku menjawab salam Ayah.

Pandangan netra Ayah tertuju pada koper yang aku pegang (bersambung)

Tinggalkan Balasan