Aku berkutat di dapur membuat nasi goreng pedas sesuai permintaanya, setengah selesai aku membuat nasi goreng dengan toping telur mata sapi setengah matang kesukaan Bang Andra ada juga timun dan tomat iris serta daun salad. Tidak lupa aku juga membawa kerupuk sebagai pelengkapnya. Nampan ditangan mengayun langkah menuju kamar, pemandang yang lama tidak aku lihat, Bang Andra tertidur dengan dengkur kecil yang dulu menjadi nyanyian yang selalu membuatku menatapnya jika tertidur lelap sebelum aku membangunkannya untuk berangkat kerja. Aku meletakan nampan di meja kecil dikamar kami, langkahku mendekati Bang Andra menguncang pelan tangannya.
“Bang nasi gorengnya sudah masak.” Ucapku sambil mengucang pelan lengannya.
Perlahan aku melihat matanya terbuka, senyum lelah di hadiahkanya padaku.
“Ada apa dengan Bang Andra.” Batinku
Bang Andra bangun dari tidurnya, melangkah menuju meja kecil dan menyantap nasi gorengnya.
“Masih sama, enak.” Ucapnya sambil menatapku
Ada tanda tanya besar di benakku melihat tingkah yang tidak seperti biasanya dari Bang Andra, tapi aku tidak mau mengorekknya, ku biarkan Bang Andra menyantap nasi gorengnya dengan tenang.
“Alhamdulillah, terima kasih Sayang.” Ucapannya membuat jengah.
Bang Andra menaruk semua berkas makannya, berdiri dan keluar kamar. Ada apa dengan Bang Andra, tak seperti biasanya. Selalunya jika habis makan, Bang Andra akan langsung meninggalkannya, dan menjadi tugasku untuk membersihkannya. Aku mengikuti langkah Bang Andra sampai ke dapur sekali lagi aku di suguhi pemandang yang tidak biasa, Bang Andra mencuci semua perlengkapan yang ada di wastafel.
“Kenapa ikut ke dapur?” aku memandangnya dengan netra tidak percaya
Bang Andra mengamit lenganku, kami melangkah menuju kamar. Sesampainya di kamar, Bang Andra mendudukkan diriku pada ranjang kami. Bang Andra memandangku lekat, mengenggam tanganku erat.
“Maafkan kesalahan Abang selama ini. Kita mulai lagi dari awal.” Ucapnya sepenuh hati, aku melihat tatapnya sama seperti pertama kali mengajakku menikah. Abang tahu, terlalu banyak salah Abang sama Ain, Abang egois tapi berikan Abang kesempatan sekali lagi Ain.” Ucap bang Andra terbata.
Aku…
“Bunda.” Suara Indra menginterupsi pembicaraan Aku dan bang Andra
Kami memandang pintu kamar, Indra berdiri di sana.
“Ayah, Indra rindu.” Indra berdiri mendapatkan Ayahnya, aku melihat ke dua laki – laki beda usia yang mengisi hari – hariku, suka maupun duka aku dapat dari mereka. Apakah aku sanggup membuat salah satu dari mereka kecewa dengan jawabanku, aku menghela napas berat, seberat bebanku saat ini. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan yang mesti aku jalani. Akhirnya aku membenahi hati dengan mengatakan biarkan salam mimpi menyambut hariku, tidak ada salahnya memberikan kesempatan, memberi maaf bukankah itu juga ajaran-Nya. Semoga malam ini salam mimpiku indah.***