KMAB-H21-Cerpen 11-Jangan Berpaling- Part 1

Cerpen351 Dilihat
Ilustrasi Cerpen ‘Jangan Berpaling’ (Dok: yis)

Sila tampak murung dengan kepala terkulai di bangkunya, kala bel masuk jam pelajaran terakhir berbunyi. Di antara siswa-siswa kelas VIII, Sila terkenal sebagai siswa yang pendiam, cuek, suka menyendiri, tapi jujur dalam setiap perkataannya. Ia amat berbeda dengan teman-temannya yang cerewet dan suka kasak kusuk membicarakan orang lain. Sebaliknya, ia justru selalu menjadi bahan gosip dan ejekan teman-temannya. Ia juga selalu menjadi sasaran kemarahan guru-gurunya karena sering ketahuan melamun atau tidur di kelas.

Tak terkecuali hari itu, kala guru sedang menjelaskan, Sila dengan santai meletakkan kepalanya ke meja dan pikirannya menerawang dengan  tatapan kosong ke samping kanan. Sila tersentak untuk yang kesekian kalinya dari lamunannya ketika sebuah kapur melayang mengenai tangannya.

“Sila!” Bentak guru IPAnya.

“I… iya, Pak?” Sila geragapan ketakutan. Kembali Sila hanya menyesali kebiasaan buruknya yang sekarang ini sudah menjadi penyakit baginya, yaitu ‘melamun’.

“Apa yang kamu pikirkan hingga kamu tidak mendengarkan pertanyaan saya?”

“Emh… Yaa… ti… tidur, Pak. Saya berpikir untuk tidur, Pak,” jawab Sila jujur yang justru disambut dengan ejekan teman-temanya. Ia merengut.

“Lhah, saya hanya menjawab apa adanya kok, Pak.”

“Baik. Sekarang kamu keluar dari kelas, dan silahkan tidur sepuasnya di luar!” Bentak guru tersebut. Mendengar suara marah gurunya yang menggelegar, semua siswa langsung diam dan menunduk. Sila pun hanya memandang gurunya dengan mulut terbuka, sebelum akhirnya keluar sambil menunduk dan mata berkaca-kaca.

Untuk yang ketiga kalinya, Sila diminta keluar sebelum waktunya. Seperti hari yang sebelumnya, Sila pun hanya duduk di depan mushola sambil merenungi nasibnya. Sila memang mengakui kebodohannya dan mengaku bahwa ia selalu merasa kesulitan untuk berkonsentrasi, hingga nilai-nilainya sekarang juga tidak pernah lebih dari lima.

Saat ini, pikirannya hanya dipenuhi bayangan ibunya yang sedang terbaring sakit di rumah. Hanya ada ia dan ibunya di rumah. Tanpa saudara dan tanpa bapaknya yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya. Selama ibunya sakit, mereka hidup dengan uang warisan eyangnya yang hanya sedikit. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa mengeluh pada orang lain, karena tidak terbiasa melakukannya. Sila pun hanya bisa memutar ulang semua rencana kegiatannya sepulang sekolah, mulai dari membeli dan menyiapkan obat untuk ibunya, menyiapkan makanan untuk mereka, melakukan semua pekerjaan rumah, hingga menjaga dan merawat ibunya di malam hari, sebelum akhirnya ia menyiapkan kebutuhannya sendiri untuk ke sekolah.

Rasanya, tak pernah ia merasakan makanan enak seperti dulu lagi. Ia pun mulai khawatir ibunya tidak akan sembuh dengan makanan yang selama ini mereka makan. Dalam hati Sila kembali teringat dan begitu membenci bapaknya yang menelantarkan mereka.

“Theett… theett!” Bel pergatian jam membuatnya melonjak kegirangan.

Sila bergegas untuk mengikuti pelajaran Matematika. Namun, dikeluarkan dari pelajaran IPA ternyata tidak membuat Sila kapok. Saat pelajaran matematika, ia justru tertidur dengan perut keroncongan karena tidak sarapan dan kelelahan. Dalam tidurnya ia bermimpi dapat merasakan hidup seperti teman-temannya yang serba cukup dan bisa makan enak.

“Siilllaaa!!”

Sila terbangun dari tidurnya mendengar teriakkan yang dekat dengan terlinganya. Dengan malas ia bangun dan terkejut ketika melihat gurunya yang melotot marah padanya.

“Sila, apa jawabannya?”

“I…iya, Pak. E… ada roti, daging, ada telor, ada susu….” Ucap jujur Sila dengan semangat.

Mendengar jawaban Sila, temen-temannya tertawa ngakak. Sementara guru itu semakin melotot.

“Sekarang pelajaran apa Sila?” Tanya guru itu.

“Oh  ya, Pelajaran… ma… matematika, Pak,” jawab Sila.

“Baik, selagi kamu masih sadar, sekarang kamu keluar dan renungkan apa yang sudah kamu lakukan hari ini. Setelah itu, kamu boleh pulang bersama yang lain.”

“Ta… tapi, Pak….” sahut Sila memelas.

“Nggak ada tapi-tapian, sekarang kamu keluar saja!” perintah guru itu.

Sila pun keluar sambil menunduk untuk yang kedua kalinya hari itu. Sila merasa tak pernah seberuntung teman-temannya. Nasibnya selalu sial. Sila pun kembali merenung di depan mushola sambil membenci tubuhnya sendiri yang tidak kuat menahan kantuk dan letih. Ia hanya berbicara apa adanya. Padahal, Ia yakin pasti bisa seperti yang lainnya asalkan ia punya kekuatan untuk mengikuti pelajaran dan ia pasti bisa konsentrasi jika ibunya tidak sakit hingga ia harus melakukan semuanya sendirian. Tapi Sila adalah seorang anak yang begitu  menyayangi ibunya. Untuk itu ia bertekad tetap akan menjaga ibunya dengan baik dan akan mencoba belajar mengejar ketinggalannya di sekolah tercintanya. Ia harus lulus dan berhasil meraih ijazahnya dengan nilai cemerlang.

Selama sisa jam pelajaran Sila hanya memandangi jam tangannya. Ia ingin segera pulang ke rumah dan membereskan pekerjaannya. Akhirnya bell pulang pun berbunyi. Seolah baru mendapat kekuatan dan tak sabar untuk segera menyelesaikan aktvitasnya, Sila berlari pulang. Namun langkahnya terhenti ketika melihat papan nama ‘MTsN 2 Bantul’ di gerbang sekolahnya.

“Suatu saat, aku pasti akan memberikan yang terbaik buatmu! Aku tak mungkin membiarkan diriku disebut ‘bodoh’ selamanya,” bisiknya. Pelan-pelan bibirnya melengkung, tersenyum untuk dirinya sendiri. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan