Cinta Tanpa Syarat (part 1)

Cerpen, Fiksiana109 Dilihat

“Liza kamu dimana?” aku bergegas menuju kamar, selalu seperti itu bukanya kebelakang nyari aku, kesal tapi mau apalagi suamiku jika tidak pasti sudah aku labrak dia.

Aku bergegas mengayun langkahku ke kamar kami, wajah Indonesia asli dengan kulit sawo matang mata kucing yang selalu membuat terpesona melihatnya. Kilatan mata yang memuja diriku itu yang aku rasakan.

“Ada apa Bang, Liza lagi memasak di dapur.” Memberikan senyum manisku, walaupun hatiku kesal tapi tanda cintaku aku tidak pernah membuat dia tahu sebenarnya aku kesal degnan teriakannya setiap pagi mencariku, padahal dia tahu aku pasti di dapur lagi menyiapkan makan pagi untuk mengantar perginya dia mencari rezeki untuk keluarg kecil kami yang sudah menanti selama 5 tahun belum juga dikarunia anak. Bagiku suamiku adalah anakku yang harus aku manjakan seperti pagi ini dan sebelumnya selalu aku harus bergegas menuju kepadanya jika dia sudah mulai memanggil namaku.

Pemandangan yang sama, setiap paginya melihatnya mengeliatkan badan sawo matangnya yang menunjukkan otot – otot yang kekar karena harus bekerja keras untuk membahagiakanku. Mata ini serasanya tidak puas walaupun setiap hari melihatnya, jika dia sakit maka aku akan sangat merasa kehilangan karena tidak ada pemandangan indah dari otot – otornya.

“Ada apa baby besarku.” Sapaanku yang selalu membuat senyum di bibir merahnya, Alhamdulillah impianku untuk punya suami tidak merokok sepertinya di ijabah Allah, sehingga bibir merah yang selalu tersenyum manis hanya untukku menambah rasa cinta pada suamiku.

“Hanya mau memanggilmu saja istriku.” Gombalnya setiap pagi mengantar hariku dengan cinta katanya tapi aku suka, suka dengan semua yang dilakukannya untukku.

“Mandi sana, habis itu makan pagi baru berangkat kerja.” Perintahku

“Sarapan ratuku, cubalah untuk lebih modern jangan makan pagi. susah banget buat bilang sarapan.” Aku tertawa geli mendengarnya padahal aku sengaja mengatakannya hanya ingin membuat suasana pagi kami lebih ceria.

Sambil ogah – ogahan dia, suamiku bangun dari tidurnya menuju kamar mandi. Belum juga beberapa menit dia masuk aku sudah mendengar omelan panjang lebarnya.

“Liz, kenapa airnya dingin. Bisa mati kedingingan nich.” Jeritnya padahal aku tahu dia hanya mengodaku saja, mana pernah dia mandi air hangat tapi beginalah kami menjalani hari kami saling mengisi dengan canda dan tawa aku bahagia dengan menjadi istrinya.(Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan