Flasback
“Jika ini keputusan Liza, papa akan menikahkan kalian tapi setelah itu pergilah mengikuti suami yang kau cintai.” Kata – kata papa sangat menusuk hatiku
“Pa, liza tidak pernah meminta sebelum ini. Li..” belum selesai ucapanku
“Jadi selama ini apa, bukannya mau mobil, hanphone bahkan tas bermerk itu bukan meminta.”
“Itukan Papa yang belikan.” Aku memcoba membela diri
“Ya mintanya lewat mama, bukannya sama saja.” Sindir Papa padaku
“Mau ditaruh dimana muka Papa Liza. Anak Rahmad Raharja menikah dengan karyawannya sendiri.” Mama terlalu memanjakanmu papa membuang muka dan menghembus napas berat
“Liza ikuti saja kemauan papa. Bagus, anak kolega papa lebih pantas untuk dirimu.” Mama mencoba menegahi Aku dan Papa
“Ma, mengapa Mama memilih Papa? Karena Mama mencintai Papa bukan.” Aku memandang mama lekat mencoba menarik simpati Mama.
“Sewaktu menikah dengan Papa, Papa tidak sekaya sekarang ini kan. Itu cerita Mama ke Liza.” Aku mencoba mengingatkan mama, cerita bagaimana sampai papa dan Mama menikah
“Kakek dan Nenek juga tidak setuju dengan pilihan Mama. Maaf Ma, bukannya Liza ingin mengulang cerita lama Mama tapi Bang Ijal bisa menjadi imam yang baik buat Liza.” Aku menangis setelah mengucapkan kata – kata yang aku tahu akan membuat Mama dan Papa terluka. Sungguh aku tidak bermaksud membuat mereka terluka hanya saja aku ingin mereka sadar bahwa kekayaan bukanlah syarat untuk bahagia.
“Sudah pandai menasehati Papa, baik besok Paoa nikah kalian setelah itu pergilah. Papa mau lihat sampai dimana cinta akan membuat kalian bahagia.” Setelah mengatakan itu papa meraih tangan Mama berjalan menuju kamar mereka meninggalkan aku yang terpaku diam menatap nanar mereka dihilang dibalik pintu kamar.
Aku jadi mengingat percakapanku beberapa waktu lalu dengan Bang Ijal. Kenapa Bang Ijal belum juga punya tambatan hati alias pacar.
“Abang sudah punya kekasih?” aku melihat sekilas kearah bang Ijal dan memandang lagi kedepan.
“Pernah, tapi sekarang tidak lagi.”
“Kenapa?”
“Butuh syarat untuk bercinta, syarat itu abang tidak punya.” Aku memandang kearahnya heran dengan ucapannya
“Setahu Liza tidak ada syarat untuk bercinta.”
“Itu menurut Liza, tapi tidak untuk orangtua.”
“Memangnya apa syarat bercinta Bang?” tanyaku
“Bibit, bobot serta bebet.” Katanya lagi
“Itu semua hanya omong kosong.” Kataku kala itu
Sekarang aku baru tahu ternyata Papa dan Mama masih menganut paham bahwa untuk mencari calon menantu harus ada Bibit, Bobot serta Bebet. Zaman sudah modern tapi pikiran manusia masih zaman batu, sekeras batu pula hati Papa menolak menerima Bang Ijal sebagai menantunya.
***
Aku terbangun dari tidur, mendengar ribut – ribut diluar kamarku, terlalu lelah semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan percakapanku dengan Papa dan Mama. Dengan malas aku menbangunkan badanku dan berjalan menuju pintu kamar dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku di ruang tengah rumah sudah berkumpul Papa, Mama, Abangku, dan beberapa orang yang aku tidak mengenalnya. Diantara mereka aku melihat Bang Ijal duduk menghadap meja kecil berdepan dengan seseorang yang lagi menjabat tangan Bang Ijal. Jabat tangan mereka berguncang, kemudian aku mendengar kata – kata SAH.
“Pangil anakmu.” Perintah Papa kepada Mama(bersambung)