Di ruang kelas 6 Tunanetra.
“Besok kita akan praktik berjalan dari sekolah menuju ke arah jalan raya ya, anak-anak..”.
Kalimat itu jelas ku dengar. Tentu saja mbak Hani juga mendengar. Karena teman sekelasku ya cuma mbak Hani. Hehe.
Jujur, dari dalam hati terdalam, aku paling malas diajak belajar orientasi mobilitas. Apalagi bepergian yang agak jauh, dan hanya menggunakan tongkat. Meski bu Tika, guruku, tetap mengikuti kami dari jauh.
“Kalian siap, ya..”, lanjut bu Tika.
“Siap, bu..”, kata mbak Hani lantang.
Sementara aku, masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Antara takut kalau ada apa-apa kalau bepergian tanpa dituntun teman yang awas, dan takut kalau aku tidak lulus Program Khusus untuk kami, anak tunanetra.
***
“Astuti takut itu, bu..”, kata mbak Hani kepada bu Tika pada pagi hari berikutnya.
Ya, hari ini, tepatnya pagi setelah berdoa dan literasi di kelas, kami akan praktik orientasi mobilitas. Seperti yang dijadwalkan bu Tika.
“Takut kenapa, As?”, tanya bu Tika kepadaku.
Sebenarnya bu Tika pasti tahu, aku memang penakut. Dulu saja saat awal-awal aku bersekolah di sini, aku takut memegang benda-benda asing yang dikenalkan kepadaku.
“Coba pegang ini, As.. Ini namanya kentongan..”, kata bu Tika saat itu.
Dan karena ketakutanku, aku meringkuk di meja kelas. Saat itu mbak Hani belum sekolah di sini.
“Ini dapat dibunyikan lho, As…”, lanjut bu Tika.
Bu Tika saat itu benar-benar ingin mengenalkan benda yang disebutnya kentongan. Tapi aku benar-benar takut. Akhirnya aku baru berani memegang benda itu beberapa hari setelah hari itu.
***
“Bu Tika pasti tahu kalau saya penakut kan, bu?”, jawabku setengah bertanya.
“Sejak dulu saja saya penakut. Diajak ke sekolah dan asrama sini saja saya takut naik mobil. Saya berteriak-teriak di mobil saking takutnya..”, lanjutku.
“Iya, terus?”, tanya bu Tika.
“Saya takut kalau berjalan menuju jalan raya nanti akan ketabrak mobif atau motor, bu..”.
Aku mencoba memberikan alasan kepada bu Tika. Sambil berharap tidak jadi ada pelajaran itu hari ini. Hehe.
“Dulu kamu takut memegang benda-benda yang belum kamu kenal kan, As? Keyboard. Kamu takut menyentuhnya. Apalagi memainkannya. Nah, sekarang kan kamu malah seneng banget kan kalau belajar memainkan keyboard sambil nyanyi?”, kata bu Tika.
“Dulu kamu memegang handphone juga begitu. Tapi akhirnya sekarang handphone menjadi kebutuhan kamu, kan?”, lanjut bu Tika.
“Kalau kamu bisa menaklukkan rasa takutmu dan ingat akan kebutuhan kamu nantinya agar mandiri, kamu pasti akan berani..”.
“Tidak selamanya kamu akan didampingi ibu dan bapak kan, As? Dan tak selamanya kamu harus menggantungkan diri kepada kakak-kakakmu. Selama aman menuju suatu tempat sendirian ya lakukan..”.
Ku dengarkan kata-kata bu Tika. Benar juga apa yang bu Tika katakan. Dan bu Tika pasti sudah mengukur keamanan untuk aku dan mbak Hani praktik orientasi mobilitas.
***
“Ya, bu.. Bismillah..”.
Ku pegang tongkatku. Aku sudah siap di pinggir jalan raya desa. Mbak Hani sudah berjalan di depanku. Kemudian aku mulai berjalan menyusuri pinggiran jalan raya desa dari titik awal gerbang sekolah.
Aku tahu, bu Tika mengikutiku dan mbak Hani dari belakang. Ku langkahkan kakiku menyusuri jalan kecil ini dengan hati-hati. Tekatku, aku harus menaklukkan rasa takutku ini sendiri. Semuanya aman.