Cerpen: DINA MEMBUAT KU GILA

Cerpen304 Dilihat

 

Alisnya lentik-hitam. Tumbuh rapi di atas matanya yang bening. Hidungnya dasun tunggal di atas bibirnya yang ranum. Kulitnya mulus bagai telur rebus yang baru saja dikupas. Ah, gemas aku. Aku mencoba meneruskan membaca buku yang baru saja aku beli dua hari yang lalu. Tapi otakku tidak fokus. Gerayangan wajahnya mengobrak-abrik perasaanku.

Sejak  dia datang, perasaanku bagai gunung digoyang gempa. Batu-batu pertahanan emosiku berjatuhan. Aku jadi suka uringan-uringan, belakangan. Sentimentil tingkat tinggi menggerogoti pondasi pertahanan angkuhku.

Kata teman-teman cewek itu namanya Dina. Datang bersama kepindahan keluarganya ke daerah ini. Tak kusangka dia selokal pula denganku. Sudah dua pekan aku mencari kesempatan. Ingin sekali berkenalan.

“Boleh berkenalan? Kenalkan, namaku Fery,” kataku di suatu siang sambil mengulurkan tangan. Saat itu grup kami lagi ngumpul. Hampir semua teman-temanku satu geng hadir.

Ia mengulurkan tangannya sambil berucap “Idin.” Dina menyebut nama manjanya. Secuil senyum sekaligus merekahkan bibirnya yang merangsang. Bibir merah rada basah itu hanyalah salah satu yang membuat kepalaku puyeng. Rambut lurus rada ikal sebahunya, semerbak bau shampo para artis, pertanda dia habis keramas pagi tadi. Pinggul montok bak gitar kapok, betis batang padi bunting yang tersingkap diatas kaus sepatu yang singkat, ah aku seperti orang mabuk. Jangan-jangan ada yang akan mengejekku, gila.

“Bah…bedebah kau, Fer. Belum apa-apa sudah minta kenalan. Yang sabar sedikit kenapa?” Damprak Oniel. Tapi aku acuh saja. Itu pasti humornya saja. Dia juga mengikuti jejakku berkenalan. Kami saling mengulurkan tangan dan menyebut nama.

“Iya, ya. Hmm…Fery, masa begitu, toh. Tahu keadaanlah.”

“Kenalannya jangan grusa – grusu begitu.” Itu Andi yang ikut protes. Tapi itu juga tak perlu digubris. Hanya guyonnya juga. Dia pun mengikuti. Semuanya jadi saling mengulurkan tangannya ke Dina.

Sesungguhnya panas cukup terik. Sudah dua bulan musim kemarau. Untung ada pokok mangga yang rimbun, membuat kami betah duduk sambil terus ngobrol. Sekali–sekali diselingi gelak tawa, bila Pardu dan Antok melucu. Tak ada yang membicarakan ujian akhir yang tinggal hitungan minggu. Malah ada yang berani mengatakan bahwa untuk ujian nanti tidak perlu belajar serius. Para pengawas dan para guru biasanya akan menunjukkan jawaban ujian. Kami memang mendengar itu dari kakak-kakak kelas tahun lalu.

“Alamatnya di mana, Din?” Aku berusaha mendekati Dina.

“Di sini?” Dia balik bertanya.

“La iya, di sini dong…Hmm….biar senang datang,” cletuk Odon yang bernama lengkap Doni Warsita.

“Kawasan pasar lama, samping Salemba.”

Aku mengangguk, pura-pura mengerti.

“Oke ya, sudah bel. Masuk, yuk.” Dina bangkit. Dan setelah saling melirik, kami pun berdiri. Bergegas menuju kelas.

Pertemuan awal yang sebenarnya tidak istimewa itu, dan tak ada pula kesan yang mungkin tak kan terlupakan ternyata cukup mempengaruhi denyut jantungku. Buatku, itu istimewa. Aneh. Ada rasa lucu dan mendebarkan. Rasa cinta? Benarkah aku telah jatuh cinta kepadanya? Oh, Dina kau membuat ku gila. Emakku, sesungguhnya hanya menyuruhku cinta sekolah. Gila sekolah, gila belajar, bukan gila wanita. Ah, pusing aku.

***

Nama Dina kian top kian ke sini. Sesingkat itu  namanya telah begitu terkenal. Viral. Dia dipuja, disanjung dan entah diapakan lagi. Pokoknya popularitasnya memang bak selebriti dibalut gossip.

Malam itu, akhirnya aku benar–benar nekad untuk menyampaikan perasaan hatiku. Aku bisa benar-benar gila jika menyimpannya saja. Malam itu dia ikut kemping. Berkemah bersama anggota pramuka kelas XI. Sesungguhnya kelas XII tidak dibenarkan ikut. Tapi, diam-diam gang kami datang ke lokasi perkemahan.

“Kamu hebhuaat,” pujiku menyanjungnya selangit setelah dia membawakan sebuah lagu nostalgia ciptaan Ismail Marzuki lewat gitar kapok. Dia hanya tersenyum tipis. Ekspresinya kurasakan juga dingin saja.

“Aku kagum sekali,” ulangku sambil menunggu reaksinya. Aku sangat berharap dia memahami gelegar gempa jantungku.

“Terimakasih,” jawabnya singkat.

Aku semakin penasaran diacuhkan. Tapi kenapa mesti aku terlalu memperhatikannya? Kenapa cinta ini tidak mau berkompromi dengan kenyataan? Ah…mestinya aku tahu diri. Aneh, cintaku malah kian menggelegak.

Siang itu, di sekolah, aku kembali mendekatinya. Bel baru saja berbunyi tanda istirahat. Aku harus melakukan sesuatu, sambil jari-jari tangan kanan aku kepalkan. Gigi-gigi gerahamku secara repleks mengunci rapat mulutku. Aku melihatnya berjalan ke arah kantin. Aku memotong untuk mendekat.

“Dina, ke kantin, yuk.” Aku mengajak Dina ke kantin sekolah.

“Oke. Kebetulan aku juga belum sarapan. Tadi aku kesiangan.” Yes, ini baru kejutan, kataku dalam hati, dan tersenyum sendiri. Bunga hatiku terasa mekar. Hatinya mulai cair, lamunku. Kami pergi ke kantin Bu Diah, kantin di deretan paling ujung. Duduk di meja yang sama. Berhadapan. Ehm…Oh Dina sayang, kau memang cantik. Super cantik. Kalimat itu hampir terucapkan olehku sesaat mataku terantuk ke pipi dan keningnya yang mulus tanpa bedak. Senyap.

“Din.”

“Hmm..,” balasnya tanpa menoleh. Dia menyantap nasi gorengnya dengan tenang.

“Kamu tuh, koq sombong amat sih, akhir–akhir ini?”

“Lho, siapa bilang?” Ia menatapku. Lalu acuh lagi. Menyantap makanan lagi.

“Banyak koq, yang bilang. Katanya kamu sih acuh tak acuh sangat?”

“Tapi siapa yang ngomong begitu?” Ia menatap lagi. Tapi kubalas saja dengan sedikit senyum. Iapun tersenyum. Lumayan, kataku dalam hati. Ternyata kau memang ramah dan cantik, pujiku di hati juga.

“Rasanya kamu tuh…memang….”.

“Memang apa?” Dia memotong. Pelan saja.

“Hmm…mm..”

“Itu hanya perasaan. Perasaan memang sering macam-macam. Kamu terlalu sintimentil mungkin. Suka pakai perasaan. Bukan pikiran”.

Wuf –aku mau tersedak. Ceweq ini juga pintar berkhutbah, pujiku. Tenggorokanku serasa tersumbat. Aku merasa keok dibuatnya. Rasanya aku kalah bahan dengannya. Mulutku bagai digembok. Berat sekali terasa sendok itu diangkat ke mulut.

“Eh, koq masih segitu?” Dia menunjuk ke piringku.

Aku malah tambah kikuk. Huh…pengecutnya aku.

“Yuk, aku duluan. Aku mau jumpa Ratna. Ada tugas.” Dia berdiri. Lalu merogoh saku bajunya. Kulihat dia mengeluarkan selembar uang yang cukup besar menurutku. Emakku belum pernah memberiku uang pecahan sebesar itu. Sendokku tambah berat diangkat.

“Eeh..nggak usah Cin. Nanti saja. Biar aku yang bayar.”

“Oh…nggak apa-apa. Permisi, ya? Sudah kubayar dua-duanya,” sambil memasukkan uang kembalian ke sakunya. Diapun setengah berlari meninggalkan kantin dan meninggalkan aku yang termangu. Aku benar-benar seperti anak kecil ditinggal main temannya.

***

MATAHARI penuh cahaya awal hari ini. Suasana pagi terasa lebih siang dari pada pagi-pagi sebelumnya. Rekan-rekan satu geng, telah berkumpul di tempat biasa: di bawah mangga tua  penuh sejarah bagi siswa-siswi SMA  ini.

“Kira-kira kita lulus apa tidak, ya?” Oniel yang memulai diskusi.

“Lulus apanya dulu?” Gadis itu menjawab dengan sebuah pertanyaan sambil menyibakkan rambutnya ke belakang.

“Ya lulus ujian, sayang.” Tiba-tiba saja aku mengucapkan kalimat itu. Malu sebenarnya aku terloncat kata. Tapi refleksi cintaku tak sengaja begitu.

“Tidak usah risau. Tiap tahun mana ada yang tidak lulus ujian di sekolah kita.” Itu suara Osman yang nama leluhurnya A Sun. Satu-satunya anak keturunan di kelompok kami.

Seingat aku, sudah bertahun-tahun sekolah ini selalu 100 persen. Yang tidak lulus hanya yang tidak ikut ujian. Semua yang ikut, ya lulus.

“Jadi, kita akan lulus apa tidak, kira-kira?” Dina memecah kesunyian.

Kami saling pandang. Sebenarnya isue ujian dibantu guru dan pengawas memang cerita dari mulut ke mulut. Tidak ada yang berani memastikan. Sebagian guru ada yang bercerita tapi yang lain mengatakan tidak. Kepala Sekolah selalu mengatakan bahwa ujian harus berjalan sesuai aturan. Siswa harus belajar dengan baik dan bersungguh-sungguh, karena standar nilai kelulusan ditingkatkan dibandingkan nilai tahun lalu. Jadi, ya belajar.

Aku malah khawatir. Jangan-jangan ujian ini hanya benar dalam teori. Peraturannya memang baik. Tapi pelaksanaannya tidak baik. Akibatnya yang lulus dari ujian model begini juga manusia-manusia curang. Pura-pura benar tapi penuh borok kecurangan. Jangan-jangan benar apa yang selalu dikatakan Bu Darsih: akibat kecurangan yang telah berjalan lama dan berlangsung sistematis, telah melahirkan manusia-manusia Indonesia yang hanya tampak baik di luar tapi busuk hatinya. Aku melamun sendiri.

“Kalian lihatlah”, katanya suatu hari. “Itu adalah hasil ujian kita”, katanya mencontohkan banyaknya prilaku menyimpang masyarakat kita. “Para karyawan yang hobinya duduk di cafe, bos-bos yang banyak tertangkap korupsi, menjadi pemalak, pencoleng uang rakyat dan banyak lagi tindakan bejat yang dipertontonkan”, katanya berapi-api.

Ibu memang benar, jerit hatiku tak bersuara. Sesungguhnya aku lebih cinta kepada ajakan Bu Darsih untuk ujian dengan jujur dari pada curang hanya sekadar mengejar nilai tinggi.

“Hei kenapa kau melamun, Fer? Masih mikirkan Dina? Nih dia teronggok di depan kita,” suara Oniel, sahabat karibku meledekku.

Aku terkejut. Lamunanku buyar. Pesan-pesan Bu Darsih yang sesungguhnya sudah lama terpatri di benakku tapi belakangan kembali kacau dan teraduk-aduk antara pikiran dan perasaanku. Aku memang memikirkan cinta tapi cinta apa? Cinta Dina, cinta sekolah, cinta emak-ayah atau aku malah gila?

“Memang kau memikirkan apa, ha?”

“Tapi apa benar kita akan lulus?” Aku bertanya sekenanya saja.

“Memang kenapa?”

“Kalian ingat pesan-pesan Bu Darsih?” Sambil kami bersurai.

***

Pagi kali ini tidak secerah pagi-pagi kemarin. Sebenarnya saat ini masih musim panas. Tapi matahari tampak enggan keluar dari balik awan itu. Sudah pukul 09.00. Hati kami kian kencang berdebar. Satu jam lagi ampelop itu akan dibagi-bagikan kepada kami. Saat ini masih pengarahan ketua panitia ujian. Kepala Sekolah biasanya juga akan memberi pengarahan. Aku tak peduli itu. Mataku mencoba menyapu semua barisan. Gadis yang telah membuat aku setengah gila itu juga tak kulihat. Kemana geng aku gerangan? Apakah mereka marah karena aku keras memihak Bu Mina?

“Asalamualaikum dan selamat pagi anak-anak sekalian”. Itu suara Pak Kepala Sekolah. Dia memberi pengarahan.

“Sebentar lagi pengumuman kelulusan akan dibagikan. Seperti tahun-tahun lalu nanti kamu akan mendapat satu ampelop berisi nomor-nomor ujian yang dinyatakan lulus”.Diam sebentar sambil memandang ke sana ke mari.

“Jadi, terimalah hasil ini dengan jiwa besar. Ini adalah hasil kerja kalian selama tiga tahun. Jika berhasil, bersyukurlah. Tapi kalau belum berhasil, jangan kecewa. Waktu masih ada. Waktu masih panjang. Kalian bisa mengulang atau ikut paket C juga boleh.” Pening aku mendengar wejangan Pak Kepala Sekolah ini. Sepertinya dia tidak menyinggung isu kecurangan dalam ujian. Apakah dia pura-pura tidak tahu atau dia juga munafik? Ah, pusing aku.

Tepat pukul 10.25 pembagian ampelop dimulai. Sebelumnya barisan dirapikan kembali dengan cara bersaf mengelilingi lapangan. Setiap tiga atau empat meter ada seorang guru yang memegang ampelop. Berdiri tegap menghadap barisan siswa. Para polisi juga tampak berjaga-jaga di pekarangan sekolah. Kata panitia ampelop harus dibuka serentak setelah semua siswa mendapatkan masing-masing ampelopnya. Isi ampelopnya sama. Kami diminta mencari nomor ujian masing-masing. Jika tidak ditemukan itu artinya tidak lulus. Sungguh menyesakkan. Mengapa tidak dikirimkan ke HP saja? Atau lewat internet lebih praktis, hah.

Sejenak kemudian. Entah siapa yang memulai, entah dari mana suara itu berawal, tiba-tiba saja terdengar jeritan siswa. Riuh sekali. Bagaikan orang kesurupan, tangisan sahut-sahutan dari berbagai penjuru. Ada juga yang berpelukan. Aku mencoba melirik kiri-kanan, mencari-cari teman-temanku. Aku malah lupa membuka ampelopku. Aku terus berjalan sambil mencari seseorang. Dimana dia? Apakah dia berhasil lulus? Apakah rekan-rekanku satu geng lulus semua? Aku akan membukanya bersama mereka.

Seseorang menarik tanganku dari samping kiri. Aku menoleh. Jantungku berdegup kencang. Ternyata dia Dina, gadis yang bagaikan virus telah menyerangku hampir setahun ini tertegun di sampingku.

“Bagaimana?”

Dia hanya menatapku. Kulihat matanya merah.

“Kamu…”  aku ingin mengulangi pertanyaan. Tapi dia telah tersandar ke arahku. Reflek aku memeluknya. Aku bingung. Berat sekali badannya. Berulang-ulang aku memanggil namanya tapi dia tetap tak membalas.

“Din… Din, kenapa kamu. Kamu…tidak …,” mulutku juga kian berat. Riuh suara pekik tangis dan haru di sana-sini menambah kalutku. Dina tetap tidak bersuara. Akhirnya aku papah dia tepi lapangan. Aku dudukkan. Dan aku tanya lagi, “Kenapa? Tidak lulus?”

“Aku hanya ingin kau peluk. Terima kasih. Aku lulus.” Barulah Dina bangkit. Ternyata dia hanya berpura-pura setelah acara membuka amplop tadi. Dia sudah tahu, dari seorang guru bahwa seluruh siswa dinyatakan lulus. Pengumuman ini hanya formalitas. Gila, kataku di hati.***

Tbk, 2015-2022

 

Tinggalkan Balasan