Don’t Be Panic

Cerpen, Fiksiana40 Dilihat

Kepanikan adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh obat dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan -Ibnu Sina

 

Tinggal di kos yang sangat agamis membuat Tiara secara tidak langsung ikut belajar dan terpengaruh oleh lingkungan yang baik. Saat baru tiba di kos Aisyah Tiara belum menutup aurat pakaiannya pun masih seperti remaja pada umumnya mengenakan kaos dan celana jeans.

          Tinggal di kos yang sangat agamis membuat Tiara secara tidak langsung ikut belajar dan terpengaruh oleh lingkungan yang baik. Saat baru tiba di kos Aisyah Tiara belum menutup aurat pakaiannya pun masih seperti remaja pada umumnya mengenakan kaos dan celana jeans.

          Akan tetapi sejak ia baru saja menginjak kaki di kos tersebut ada rasa tidak enak hati jika ia sendiri yang tidak mengenakan jilbab. Hidayah menghampirinya hingga ia memantapkan hati untuk mengenakan hijab.

      Perlahan-lahan Tiara membeli baju yang menutup aurat sekadarnya begitu juga dengan penutup kepala ia hanya membeli 2 jilbab saat itu. Hatinya tentram tinggal bersama teman-teman yang sangat semangat mencari ilmu baik untuk dunia dan akhirat. Sehingga selain belajar mata kuliah mereka juga selalu menyempatkan untuk mengikuti berbagai kajian di masjid sekitar Yogyakarta.

          Shalat 5 waktu berjamaah, tadarus, yasinan dan kultum merupakan kegiatan rutin mereka. Jadwal mendapatkan kultum juga dilaksanakan secara bergantian setiap seminggu sekali. Begitu juga dengan mading, mereka kompak untuk membuat kos-kosan mereka menjadi lebih bermakna ketika ada tamu yang berkunjung.

          Malam Jumat, jadwal rutin mereka adalah membaca surah Yasin secara bersama-sama. Selesai membaca surah Yasin dilanjut dengan kultum. Saat itu kultum di isi oleh kamar Teratai. Mereka menamakan kamar masing-masing dengan nama-nama bunga.

          Kamar teratai diisi oleh Mbak Nur. Saat itu ia mengisi kultum yang sangat berkesan diingatan Tiara.

          “Pada kesempatan kali ini saya ingin menyampaikan sebuah kisah. Ada seorang ibu yang memiliki 3 orang anak. Dua laki-laki yang berumur 6 tahun, 4 tahun sedangkan sibungsu baru menginjak 8 bulan.

          Saat itu si ibu sedang memandikan sibungsu di dalam baskom yang biasa digunakan untuk memandikan bayi. Sedangkan 2 anak laki-lakinya sedang menonton TV.

          Tayangan TV saat itu tentang sunat.  Kebetulan dalam seminggu itu berita tentang sunat sering mereka dengar. Si Kakak akhirnya pun memiliki ide untuk bermain sunat-sunatan bersama adiknya. Mulailah ia ke dapur untuk mengambil pisau. Si Kakak mengatakan kepada adiknya.

          “Dik, kita main sunat-sunatan yuk!”

          Si adik mengikuti ajakan kakaknya.

          Setelah mengambil pisau di dapur si kakak mulai melaksanakan perannya yang bertugas seolah-olah menjadi mantri sunat. Ia pun menyuruh adiknya berbaring dan menanggalkan celananya dan mulai melakukan aksinya memotong kelamin si adik seperti yang mereka dengar.

          Seketika si adik berteriak kesakitan, darah berceceran. Si ibu yang sedang memandikan bayinya terkejut mendengar teriakan anak lanangnya dari kamar. Ia pun bergegas menuju ke kamar dan sangat shock ketika melihat darah berceceran di kelamin anak keduanya.

          Ibu marah besar pada si kakak ia mulai memukul anak pertamanya. Merasa ketakutan melihat ibunya yang marah si kakak melarikan diri sekencang-kencangnya ke luar rumah dan si ibu pun mengejarnya. Tanpa di sangka karena lari dalam keadaan takut tidak terkontrol  si kakak tertabrak. Si ibu pun histeris.

          Si ibu baru sadar jika ia meninggalkan anaknya di baskom. Ia kembali ke rumah dan menuju ke kamar mandi ibu teriak jika anaknya sudah dalam posisi mengapung.

          Teman-teman dari kisah yang saya ceritakan tadi apa hikmah yang bisa kita petik? Sebaiknya apa yang harus ibunya lakukan ketika mendengar teriakan anaknya?

          Pada intinya kita harus bisa mengendalikan emosi dalam setiap  keadaan apalagi ketika  sedang panik. Semoga kisah ini bisa menjadi ibrah  buat kita bersama.

          Tiara tertegun mendengar kisah tersebut. Bagaimana semua bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan. Kehilangan ke-tiga orang anak  karena panik. Ia pun berandai-andai. Jika si ibu tidak panik ia tidak meninggalkan anaknya di baskom sendirian. Ia tidak perlu  marah besar kepada si kakak apalagi mengejarnya. Seharunya si ibu memberi pertolongan segera kepada anak ke-duanya. Tapi semua itu telah terjadi dan hanya bisa berandai-andai.

Jembrana, 28 Februari 2021

Naskah Hari ke-28

Tinggalkan Balasan