Aku menatap netranya dengan netraku yang mengandung amarah yang sudah diujung ubun-ubun. Aku menepis tangannya,
“Apa… Aku yang harus menceritakan bagaimana Abang sudah ada pengantiku.” Suaraku meninggi keras tidak lagi menyebut namaku tapi Aku saja.
Wajah terkejutnya membuatku muak, aku memalingkan wajahku. Aku tidak mau dia melihat luka di netraku. Aku turun dari kasur melewati dirinya yang masih terpaku dengan ucapanku. Melangkah keluar kamar, meninggalkannya, yang aku pastikan ia lagi mencari alasan untuk menutup kebohongannya.
Langkah terburu- burunya menyusulku tidak aku pedulikan, aku terus melangkah walaupun aku mendengar dia memanggil namaku
“Indah…tunggu.. dengar dulu penjelasanku.” Katanya
Aku tetap melangkahkan kaki menuju kamar tamu, masuk kedalam menghempaskan pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Aku mendengar dia memanggilku berkali – kali dan akhirnya aku mendengar pintu kamar didobrak dari luar. Pintu terbuka dengan paksa, aku melihat kilatan netranya yang marah tapi tidak sedikitpun membuatku takut. Aku membalas tatapan Netra dengan kebencian yang aku pancarkan dari netraku, akhirnya aku melihat pancaran netra yang menyesal. Berjalan menuju kearahku dan berusaha meraih lenganku, tapi aku menolaknya secara kasar tangannya yang akan menyentuhku.
“Abang ….abang khilaf, maaf.” Katanya tergagap sambil tetap berusaha meraih lenganku.
Aku memandangnya dengan kesal
“Khilaf atau sengaja, hanya Abang yang tahu.” Seruku meninggi.
“Indah…kita bisa bicarakan ini dengan baik – baik.” Berusaha membujuku dengan menunjukkan wajah menyesalnya.
“Kita tidak perlu bicara, Abang sudah menikahinya?” tanyaku dengan berusaha menahan sakit yang teramat dalam.
“Jawab, jangan hanya membisu.” Emosiku meluap
“Sudah.” Katanya tapi aku tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk melanjutkan katan- katanya. aku tidak mau lagi mendengar kebohongan lain dari mulutnya.
“Cukup hanya itu yang aku ingin dengar. Sekarang keluarlah, aku mau istirahat. Mulai malam ini, c****n Aku.” Setelah mengatakan itu, aku menuju kasur dan membaringkan badanku memejamkan mataku. Sebongkah batu menghimpit dadaku membuatnya sesak, tapi aku tidak mau kelihatan lemah dihadapannya.
“Indah….dengarkan dulu penjelasan Abang.” Katanya berusaha membujukku
Aku hanya mengayunkan tanganku, tanda aku tidak mau lagi berbicara kepadanya.
“Pergilah, atau aku yang akan meninggalkan rumah ini.” Ancamku kepadanya
Dia tahu bagaimana aku akan menjadi gila jika sudah terluka, langkah menjauh, dan meninggalkan kamar tamu membuatku merasa lega. Dengan susah payah aku memejamkan mata, yang pasti sudah hampir subuh mataku baru terpejam.
***
Aku terbangun dari tidurku mendengar suara azan subuh yang mengoyak malam menandakan datangnya pagi. Aku memandang kesebelah tempat tidurku yang kosong, tak ada sosok tubuh suamiku, aku memandang kasurku pilu, aku cuma berandai saja. Andainya aku berani, maka aku tidak akan sendiri batinku pilu.
Aku seorang perempuan yang tak mau sendiri, walaupun pada kenyataannya aku sendiri di rumah ini. Suamiku, apakah aku punya suami jika hanya pulang sekali – sekali, itupun hanya takut kepada gunjingan orang jika dirinya telah mendua.
Aku diam seribu bahasa dalam duka, aku tahu dia mendua tapi aku tidak berani mengungkap fakta. Aku memilih untuk diam, diam dalam seribu bahasa. Menelan semua pil pahit kehidupan yang hanya aku atau sebagaian besar wanita yang sepertiku yang tidak mau disebut janda. Akhirnya aku merindu, dan hanya bisa berandani – andai jika aku berani melepasknya hanya dalam cerita karanganku saja.***