Kakak, mengapa Ayah mengatakan itu kepada remaja putri itu, siapa kakaknya? Akukah, tapi aku tidak pernah merasa punya adik. Aku memandang Ibu, Ibu malah tambah terisak dan memelukku tambah erat. Ayah, ya Ayah dengan santai malah mengambil posisi duduk dimana Ayah dan Ibu selalu bersantai di waktu sore sambil menikmati makanan kecil sambil menonton TV layar lebar didepan mereka.
“Ila, antar Adiku kekamarnya setelah itu Ila kembali kemari. Ada yang Ayah ingin katakana kepada Ila.” Perintah Ayah kepadaku,
“kamar yang mana Yah.”
“Kamar tamu.” Suara Ayah terdengar lagi
Aku melepaskan pelukanku dari Ibu dan berdiri berjalan kearah remaja putrid yang sampai saat ini aku belum tahu namanya tapi yang pasti dia adikku menurut perkataan Ayah tadi.
Setelah mengantar remaja putrid tadi kekamar tamu, seperti perintah Ayah. Aku kembali menuju ruang tengah tempat Ayah dan Ibu berada.
Sesampai diruang tengah, aku mengambil posisi duduk dekat dengan Ibu, aku melihat Ibu masih terisak menangis dengan menutup kedua tangan pada wajahnya. Aku meraih badan Ibu dan memelukknya. Aku memandang ke arah Ayah
“Ayah, ada apa?Apa yang terjadi?Siapa remaja putri tadi? Aku bertanya kepada Ayah.
“Maaf Ila, Ayah tidak bermaksud menyembunyikannya darimu tapi ini semua kemauan Ibumu. Ayah punya istri lain selain ibumu dan remaja putrid tadi adalah anak Ayah dari istri kedua Ayah. Namanya Ruhila, Ibunya baru saja meninggal karena itu Ayah terpaksa membawa kemari, karena tidak ada yang menjaganya.” Ayah memandang wajahku sambil menghembuskan napas berat setelah menceritakan masa lalu Ayah sehingga harus membawa remaja putrid bernama Ruhila yang dikenalkannya sebagai Adikku.
Aku memandang Ibu, Ya Allah ternyata Ibu menyimpan dukanya sendiri. Aku selalu melihat bagaimana ibu mengabdikan dirinya kepada Ayah, Ibu bukan hanya istri yang mau senangnya saja tapi Ibu adalah istri yang selalu mengabdikan hidupnya kepada Ayah bahwakan Ibu punya Usaha catering yang bisa memberikan pekerjaan kepada orang lain. Ibu memilih bekerja di rumah daripada bekerja di Kantor karena tidak mau meninggalkan rumah dengan alasan seorang istri harus berada di rumah. Sementara untuk bisnis cateringnya ibu memilih membuka ruko disamping rumah kami yang hanya perlu melangkah sebentar sudah sampai.
Sebagai seorang Istri aku tidak pernah melihat Ibu menyia – yiakan tanggung jawabnya, bagaimana Ayah bisa menikah lagi sampai mempunyai anak denganya.
Baru saja Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Ayah, aku melihat Ibu meraih tanganku sambil berkata
“Ila, Ibu mau ke kamar.” Padahal emosiku sudah sampai di ubun – ubun, aku tahu Ibu tidak mau Aku sampai durhaka kepada Ayah.
“Ayo Ila, antar Ibu ke kamar.” Suara memohon Ibu membuatku menghembus napas berat, berdiri dan memapah ibu menuju kamar.
“Ibu mau ke kamar Ila saja.” aku melihat Ibu Iba dan merangkul badan lemahnya menuju kamarku.(bersambung)
***