Cinta Tanpa Syarat (part 3)

Cerpen, Fiksiana60 Dilihat

Aku melihat Mama melangkah lesu menuju kamarku, aku masih mengintip dibalik pintu kamarku, setelah melihat   segerombolan orang tadi aku hanya berani mengintip dari balik pintu kamarku. Semakin Mama mendekat aku semakin takut, akhirnya mama membuka pintu kamarku sambil berkata

“Liza sudah sah menjadi istri Ijal.” Mama merangkulku dan menangis terisak.

Bagaikan petir aku mendengar perkataan Mama, teganya Papa padaku. Mandilah pakai pakaian yang layak setelah itu kita keruang tengah. Bagaikan lembu dicucuk hidungnya aku mengikuti perintah mama. Menuju kamar mandi, mandi ala kadarnya memakai pakaian dan melangkah mengikuti langkah mama menuju ruang tengah.

“Ini yang Liza mau bukan, sekarang Liza sudah sah menjadi isterinya Ijal.” Perkataan Papa sungguh menyayat hatiku sungguh aku tidak percaya Papa melakukan ini padaku.

“Ijal saya serahkan Liza kepadamu, sekarang bawalah pulang istrimu.” Aku melihat raut wajah bingung Bang Ijal, semua ini salahku.

Aku tidak bisa menitikkan airmata, maaf Bang. Liza sudah lancang dengan mengatakan ingin menjadi isteri Abang, sementara Abang tidak pernah mengatakan cinta kepada Liza batinku. Tanpa berkata – kata Bang Ijal memohon izin kepada Papa, Mama dan Abangku. Mencoba mencium tangan Papa tapi Papa menarik tangannya sebelum Bang Ijal sempat menciumnya. Sementara mama mengelus kepala Bang Ijal sewaktu Bang Ijal mencium tangannya. Aku mendengar mama menasehati dan meminta Bang Ijal menjagaku baik – baik. Abangku yang tidak tahu apa – apa hanya memandang bingung kearah Papa, Bang Ijal dan Aku tapi Abangku masih meminta Bang Ijal untuk memberi kabar jika terjadi sesuatu pada diriku.

Aku mengikuti jejak Bang Ijal meminta restu dan minta maaf kepada Papa, Mama serta Abangku. Setelah itu aku mengikuti langkah Bang Ijal meninggalkan rumah orangtuaku. Tak ada kata yang keluar dari mulut Bang Ijal kami terdiam seribu bahasa, sampai di rumah Bang Ijalpun dia tidak berkata apa – apa.

***

Suara azan magrib sudah berkumandang, sejak pagi tadi aku hanya duduk sambil memeluk lututku di atas ranjang di rumah bang Ijal. Perlahan aku mendengar suara langkah kaki menuju kamar yang aku tempati. Perlahan pintu kamar terbuka, sosok Bang Ijal hadir disana mengenakan koko putih serta berpeci.

“Mau sholat bersama.” Ucapnya

“Sudah mandi?”

“Tidak capek dari tadi hanya duduk saja.”

“Setelah sholat kita makan, baru setelah itu kita bicara.” Aku menantap wajahnya tidak ada rasa marah sedikitpun hanya senyum yang membuat hatiku menjadi luluh.

“Mandilah dulu, abang sholat kemasjid. Setelah mandi langsung sholat ya.” Sambil berkata itu Bang Ijal menutup pintu kamar dan langkahnya meninggalkan rumah menuju masjid sayup – sayup terdengar.(Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan