Cinta Tanpa Syarat (part 7)

Cerpen, Fiksiana127 Dilihat

Sejak saat itu, sekarang sudah 5 tahun berlalu, aku belajar menjadi istri yang baik buat diriku maupun untuk Bang Ijal. 5 tahun bukan waktu yang singkat, akhirnya ijazah S2 Bang Ijal tidak bisa diterima di mana – mana perusahaan karena ulah Papa. Tapi Bang Ijal tidak pernah putus asa, tapi usaha Hidroponik di tambah dengan kerambah ikan yang akhirnya menghidupi kami. Aku masih ingat 2 tahun setelah kami menikah Papa datang ketika Bang Ijal tidak berada dirumah.

“Bagaimana Liza, enak hidupmu hanya dengan cinta.” Sinis sekali kata – kata papa tapi dengan senyum aku berkata

“Papa bisa lihat kami bahagia.”

“Bahagia, di rumah ini. Yakin dengan apa yang kau katakana?”

“Jangan melihat dari luarnya Papa, tapi lihatlah di sini.” Sambil menunjuk dadaku

“Liza lebih bahagia sekarang Papa. Bagaimana dengan Papa dan Mama Bahagia?”

“Apa maksudmu berkata itu Liza.” Aku melihat wajah marah Papa mendengar perkataanku

“Maaf Pa, Liza hanya bertanya kabar Papa dan Mama saja. tidak ada yang lain.” Aku berusaha tenang seperti yang diajarkan Bang Ijal.

“Mamamu sakit, sekarang dirawat di rumah sakit.” Setelah mengatakan itu Papa pergi, aku hanya bisa memandang lemah kepergian Papa. (Bersambung)

***

Berdiri di depan ruang rawat inap kamar Mama, aku masih berdiri diluar. Aku mendengarkan suara dari dalam percakapan antara Papa dan Mama.

“Pa, Mama rasa Ijal suami yang baik untuk Liza.” Suara lemah mama membuatku nelangsa

“Sudah terlalu lama Papa menyiksa mereka, Ijal tidak bersalah, anak kita saja yang keras kepala. Lihatlah bagaimana dia mengubah putri manja kita menjadi wanita dewasa yang sekarang lebih bijaksana. Jika Ijal tipe laki – laki bertanggungjawab tentu dia akan meninggalkan anak kita setelah semua perusahaan tidak mau menerimanya bekerja. Tapi apa dia malah dia berusaha dengan tanah yang tak seberapa hanya dengan keterampilannya dia bisa membuat anak kita bahagia. Mama tidak pernah melihat sebahagia ini anak kita Pa.” suara Mama yang lemah masih terus berusaha bicara

“Sudah istirahat saja, masalah itu nanti saja kita bicarakan.” Suara Papa yang selalu otoriter tentu saja membuat Mama harus mengalah

“Ya sudah, asal Papa tidak menyesal saja nanti.”

“Apa yang harus Papa sesali, Mama saja yang berlebihan. Sudah istirahat saja.” Ada nada kesal disuara Papa.

“Assalamualaikum.” Aku mengucapkan salam sebelum menekan handle pintu

“Walaikusallam.” Suara mama lebih terdengar menjawab salamku, papa melihat kedatanganku langsung berdiri dan berucap

“Papa keluar dulu.” Aku dan Mama melihat Papa berlalu tanpa menoleh kearahku.

“Mama kenapa? Tanyaku

“Biasa sakit orangtua, Ijal mana?” aku tersenyum mendengar pertanyaan Mama

“Lagi sibuk dengan lahan Hidroponiknya Ma? Ada penanan yang harus diurus, lumayan untuk keperluan dapur kami.” Ujarku kepada Mama

Sudah 1 aku menemani Mama, waktu besuk hampir habis. Pintu kamar rawat inap Mama terbuka

“Assalamualaikum.” Suara Bang Ijal sudah mendahului orangnya masuk ke dalam ruang rawat inap Mama.

“Walaikumsalam.” Aku dan Mama menjawab salam Bang Ijal. Senyumku menyambut kedatangan Bang Ijal.

“Pakai di jemput segala.” Ucapan Mama membuat Bang Ijal tersipu malu

“Bukan menjemput Ma, tapi ada kerjaan jadi besuknya terlambat. Maaf Ma.” Ucapan Bang Ijal membuat Mama tertawa

“Mama bercanda, kamu sehat Jal?” pertanyaan Mama dijawab dengan anggukan kepala oleh bang Ijal.

“Lihat aja badan Bang Ijal Ma, mana mungkin dia sakit makannya kuat.” Aku mencandai Bang Ijal.

“Beginilah nasib kuli, harus kuat makan Ma. Biar kuat kerjanya.” Ucapan Bang Ijal membuat mataku tanpa sadar berkabut. Melihat itu Bang Ijal merangkulku  memberikan ketenangan buatku.

“Maaf hanya bercanda, Mama bagaimana? Sudah baikan. Maaf baru bisa menjenguk sekarang Ma.”

“Tidak ada – apa, salah Mama yang suka sakit, jadi merepotkan kalian.” Ucap Mama lirih(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan