Hitam Pekat (Part 2)

Cerpen, Fiksiana66 Dilihat

Netraku membulat tak percaya, inikah tempat berlindung kawanku dari panasnya siang dan dinginnya malam yang katanya dunia seakan menjadi miliknya dengan tinggal di dalamnya. Aku memandang sekitar, seakan tak percaya, tertegun, akhirnya aku bertanya lagi kepada tukang taxi.

“Benar ini pak alamatnya.”  Pemandangan didepanku membuat mengganga diluar imajinasi dan anganku.

Rumah berderet – deret dari trimplek bersusun seperti kandang ayam di kampungku, hanya saja disini bukan ayam yang menghuninya.

Aku ragu untuk melangkah, tapi jeritan itu membuatkan tidak jadi masuk kembali ke dalam taxi.

“Aiiiiiiin…” teriak liza sahabatku

Liza berlari kearahku sambil membawa ember dan gayung. Dari mana liza, batinku. Kami berpelukan.

“Basah Lix. Bajuku.”  Liza memelukku masih dengan ember ditangannya, tetesan air yang tersisa diember dan gayung mengenai bajuku.

“Ups, maaf sangking senangnya melihatmu Ain. Aku tidak percaya kamu datang.” jerit Liza dikupingku histeris.

Liza menarik tanganku kami berjalan melewati rumah ruli, beberapa orang menyapa Liza, Liza membalasnya sambil melemparkan senyum.

“Sahabat saya dari kampung.” Ucapnya gembira akan kedatanganku kepada semua orang yang menanyakan Aku kepadanya.

Sekali lagi netraku seakan mau keluar dari cangkangnya, bagaimana tidak hunian Liza sungguh tidak layak untuk ditempati.

“Yakin, kamu tinggal disini Liz?” tanyaku heran.

“Ya memang tidak seperti rumah sich, tapi ini membuatku bahagia, daripada di kampung bagai katak dalam tempurung, semua serba diatur, bosan.” Jawaban yang sebenarnya mencuit hatiku.

“Benar juga Liz. Sekarang kita bebas.” Akhirnya Aku dan Liza tertawa bersama, mudah – mudah ini dunia yang kucari selama ini, batinku.

***

Sudah 6 bulan aku di Batam, sudah habis uang yang aku bawa dari kampung. Sial sungguh sial, dengan terpaksa aku harus bekerja sebagai pelayan di salah satu club malam sebagai pengantar minum pesanan pelangan. kerja ini saja sudah membuatku merasa terhina bagaimana tidak, setiap malam ada saja tangan usil yang mengganguku, membuat pilu hati, mengenang bagaimana aku bak putri raja dikampungku. inikah kebebasan yang aku cari selama ini, rintih hatiku sendu.

“Ini baju mahal b***h, pakai otak kalau kerja bukannya melamun.” Bentakkan yang membuat aku marah, tapi marah pada siapa. Disini pelangan adalah raja.

“Maaf ibu, maaf saya salah.” Aku berulang kali minta maaf padahal bukan salahku, tapi inilah aku terpaksa meminta maaf hanya untuk memenuhi kampung tengahku.

Wanita tua yang sering dipanggil Tante ini adalah pelangan tetap tempatku bekerja, tiap malam bergantian brondong yang menenaminya. Jelek tapi karena banyak duit, banyak brondong yang mau diajaknya kencan. Masih cantik kemana – mana dijika dibandingkan dengan Emakku di kampung. Rutukku dalam hati.

Bos tempatku kerja, datang tergopoh. Aku tahu bosku selalu mengawasi kami bekerja, dan bukan rahasia umum, jika kami sudah diperingatkan untuk berhati – hati dengan pelangan yang satu ini. Tapi naas, malang tak berbau, malam ini aku kena getahnya. Padahal Aku sudah menghindar, tapi dasar nenek – nenek genit, seenaknya bergoyang dengan music yang sepertinya tidak memerlukan goyang yang dibuatnya, wal hasil nampan berisi minuman yang ku bawa terkena tangan genitnya yang mencumbu brondong sialan, yang  mau saja di pegang nenek peot, rintihku.

malang nasibku, Bosku sudah ikut membujuknya tapi sungguh diluar nalarku, memang aku anak kampung tapi permintaanya sungguh diluar batas kemanusian. Ini untuk terakhir kalinya, besok aku akan meninggal Batam yang kata orang surga tapi tidak dengan diriku biarlah aku dibilang kampungan tapi aku tidak tahan dengan ruli dan pekerjaan malam yang membuatku terhina. Liza mungkin aku tidak cocok di Batam, besok izinkan aku pulang. Aku berdiri setelah meminta maaf dengan berlutut dihadapan nenek peot gila ini. Luka batinku mengganga, mungkin ini hukuman dari-Nya karena lari dari rumah.***

Tinggalkan Balasan