Suara azan subuh tidak membagunkanku membangunkanku, sangat lama aku tertidur. Biasanya pukul sebelas malam aku baru bisa tidur, dan pukul 3 subuh aku sudah terbangun mengerjakan pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga. Aku melihat jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Aku mencium aroma yang sudah lama tidak aku cium. Anganku melintasi waktu.
Flasback
“Ku terima nikah dan kawinnya Aisyah binti Amiruddin dengan emas kawin seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin emas dibayar tunai.” Mantap suara Bang Is melafaskan ijab Kabul pernikahan kami. Itu 3 tahun yang lalu. Aku tersenyum malu mendengar beberapa sahabat baikku yang mengodaku waktu itu.
Sepurnama setelah kami menikah, aku sudah pindah kerumah bang Is. Tepatnya rumah peninggalan orangtuanya, sahabatku mengatakan aku beruntung tidak punya mertua sehingga terlepas dari siksanya ibu mertua.
Aku yang baru saja 6 bulan lulus SMA sudah harus menjadi seorang istri, tapi itu bukan mauku. Ya, beda umur kami 10 tahun aku baru masuk 19 tahun sementara bang Is sudah 29 tahun. Aku tidak menolak menikah dengannya karena aku tidak mau membebani Ayah yang harus menjaga aku dan adikku setelah 3 tahun yang lalu Ibu dipanggil oleh yang Maha Kuasa.
Bang Is, tetangga kami, aku sudah mengenalnya sejak aku masih gadis kecil. Semua yang ada padanya mungkin membuat semua perempuan akan berfikir aku sangat beruntung menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dalam umur yang masih muda sudah punya karier yang mapan.
Di awal pernikahan kami, aku lebih banyak belajar darinya bagaimana menjadi seorang isteri. Bagaimana tidak, aku selalu bangun setelah aku mencium bau harum dari dapur karena Bang is sedang memasak makan pagi untuk kami, dengan malu aku akan keluar kamar setelah sholat subuh. Dengan rambut yang masih basah, aku tutup dengan handuk untuk menyembunyikan maluku.
“Maap Bang, Ais terlambat.” Ucapku malu
Memandangku dengan pandangan yang membuatku tambah malu
“Sudah sholat subuh?” tanyanya dan fokus pada masakkan yang sedang disiapkannya.
“Sudah.” Jawabku malu
“Maaf, tidak sholat berjamah. Abang kasian mau bangunkan Ais.” Ucapnya membuatku bertambah malu.
“Biar Ais yang selesaikan bang.” Ucapku
“Hmm.” Sambil menyerahkan senduk untuk mengaduk nasi goreng. Aku melihat sudah ada telur mata sapi dan tahu, tempe yang sudah tersedia di meja makan. Air yang sebentar lagi mendidih.
Dua tahun aku bagaikan ratu dalam rumah tanggaku, semua pekerjaanku selalu dibantu oleh Bang Is.
***
Satu tahun ini, bagaikan neraka. Entahlah aku tidak tahu kemana perginya sosok yang menjadi idaman setiap wanita itu pergi. Aku saja sampai lupa sejak kapan mulainya barang pecah belah akan melayang jika amarahnya datang. Seperti seminggu yang lalu aku tidak tahu salahku apa, tidak mungkin karena aku terlambat menyiapkan kopi dan nasi goreng untuk sarapanya, pikirku. Tapi kenyataannya memang aku telat menyediakannya, sungguh tidak masuk akal.
Tiga hari yang lalu, gelas kopi melayang begitu saja. katanya baunya tidak enak, yang aneh – aneh saja. Dua hari yang lalu sebelum badanku meriang aku masih ingat bagaimana piring makan jatuh dengan suara yang keras, alasanya terlepas dari tangannya karena licin. Belum lagi mukanya yang dalam sepekan ini sungguh muak aku melihatnya. Tidak ada manis – manisnya, yang ada hanya cemberut bagaikan makan buah mangga muda yang pasti sangat masam rasanya.(bersambung)
***