Suara azan subuh berkumandang, aku mengerakkan tubuhku yang kaku. Selalu seperti ini aku tertidur menemaninya tidur disofa. Aku mengerakkan badanku yang kaku akibat tidur duduk menemani suamiku, apakah dia tahu bahwa aku rindu akan kehadiranya.
Tubuh didepanku belum juga terbangun, sudah berakhir suara azan dari alun – alun masjid. Akhirnya aku harus pasrah, pagi ini aku akan sholat sendiri lagi, guncangan dibadanya tidak sedikitpun digubrisnya, malah suara dengkuran bertambah kuat mengalahkan azan subuh di masjid. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar untuk sholat subuh sendiri,
Sudah pukul 09.00 sarapan yang aku siapkan sudah dingin, aku mengeluh pasti sebentar lagi aku akan mendengarkan ocehan suamiku yang kesal karena tidak dibangunkan untuk kekantor. Aku tersenyum miris, mau bagaimana lagi, itulah nasibku sejak belakangan ini. Aku sudah menyiapkah teliga serta hatiku untuk mendengarkan ocehannya yang akan menambah luka yang tidak terlihat dari luar dan tidak mengeluarkan darah tapi sangat menyiksaku, sungguh.
***
Lelah aku menunggu akhirnya aku tertidur di meja makan, tiba – tiba aku merasakan belaian lembut. Tangan itu, tangan yang membelaiku diawal pernikahaan kami, belaian lembut yang membuatku sangat bersyukur telah menjadi istrinya, menetes airmataku seandainya ini mimpi aku berharap aku tidak akan bangun. Aku berdoa dalam hati semoga ini kenyataan, ya kenyataan aku sangat merindukan belaian ini.
Belaian itu makin lama makin nyata, mau tidak mau membuka mataku. Mata kami saling beradu. Aku kecut melihat raut wajah di depanku, tapi perlahan aku melihat senyum lelah dari bibirnya tapi masih menyisakan rasa yang membuat aku bahagia.
“Maaf.” Kata – kata yang membuat jantungku hampir saja berhenti
“Maaf.” Aku mendengarnya lagi, tak bisa aku bendung lagi mata yang sudah penuh air itu akhirnya meleleh. Aku memeluk pinggangnya, membenamkan wajahku dipinggangnya berusaha menahan isakku, elusan lembut tangannya membuatku tambah terisak.
Ya Allah apakah doaku terkabul, batinku.
Kedua tangan kokohnya yang selalu kurindukan, menjauhkan wajahku dari pinggangnya dan membuat wajahku mendongak menatap wajahnya. Mata kami saling berpandangan, akhirnya dia duduk di kursi disebelahku, mengecup tanganku.
“Maaf Abang banyak menyusahkanmu.” Kata – katanya membuatku meneteskan airmata lagi
Aku tidak mengerti dengan maksud perkataanya, akhirnya aku mengikuti arah matanya yang memendang lekat kearah belakang badanku.
Dug…Jantungku, ada apa dengan jantungku, mataku tak lepas dari sosok wanita yang aku yakin masih muda mungkin belum 20 tahun, dan yang lebih membuatku bigung kenapa perutnya besar dan sejak kapan dia ada dirumahku. Aku mengucek mataku, , perih. Benar aku tidak mimpi memang ada sosok wanita hamil di belakangku.
“Maaf.” Aku melepas tangan suamiku yang masih memegang tanganku perlahan tapi suamiku tetap menggengam erat tanganku dan tidak mau melepaskannya
“Aku khilaf, dan harus bertanggung jawab.” Katanya pelan
Aku tersenyum tapi aku yakin senyumku tak manis, aku berusaha melepask tanganku dari gengamannya
“Alhamdulillah, Abang masih mau bertanggung jawab kepadanya, sekarang laksanakan tanggung jawab Abang untukku.” Aku berusaha menekan suaraku dan melanjutkannya
“Jatuhkan talak kepadaku, itu tanggung jawab Abang sekarang.” Setelah itu aku berdiri berjalan menuju kamarku, aku akan pergi mungkin ini jalan Allah yang terbaik untukku.***