Maduku terasa Pahit (part Awal)

Cerpen, Fiksiana109 Dilihat

Ada bongkahan batu yang menganjal didadaku. Aku tahu, aku telah membuatnya luka teramat luka. Aku ego, aku tidak memikirkan bagaimana dulu dia sanggup menentang orangtuanya hanya untuk menikah denganku.

“Kalian sudah sah menikah, hanya satu pesanku. Buatlah isterimu bahagia.” Kalimat Ayah Cinta masih tergiang diteligaku.

“Buatlah Istrimu bahagia, seharusnya anakku bukan istrimu.” Kalimat Ayah mertuaku  yang mengandung sarat makna telah aku abaikan.

Aku lupa diri, bahwa sudah ada anak sholehah yang ku buat menentang orangtuanya hanya karena memilih aku sebagai suaminya.

Cinta Ayudiah, nama istiriku yang dengan sengaja aku lukai. Rasa ego membuatku melukainya, padahal aku dulu yang mengejar – ngejar  dirinya. Hampir setiap hari aku menunggunya pulang kerja hanya sekedar untuk menyapa dan memberikan sekumtum bunga. Ya, sekuntum bunga karena waktu itu aku belum seperti sekarang ini. Akhirnya dia luluh juga hatinya, untuk menetapkan pilihan hatinya adalah aku. Ya aku pilhannya, aku merasa dunia adalah milikku

“Saya akan menjaganya bagaikan minyak yang penuh dan meletakkannya diatas dan jauh dari kesedihan.” Dengan mantap aku menjawab perkataan Ayahnya dan berjanji akan membahagiakannya. Tapi kini apa yang telah aku lakukan, aku merenung jauh mengingat bagaimana masa kami berjuang untuk membangun rumah tangga.

***

“Abang, Cinta tak masalah jika sekarang abang dibuang kerja, pasti ada rezeki diperusahaan lain.” Kau begitu tabah waktu aku mengatakan di PHK karena perusahaan tempat kerjaku mengalami keberangkutan.

Hampir 1 tahun aku menganggur, tapi kau tidak pernah mempermasalahkannya. Kewajiban sebagai istripun tidak pernah kau lupakan. Subuh hari lagi kau sudah bangun, memasak hanya karena takut aku kelaparan, kau memanjakanku seakan aku anak baru lahir yang tidak bisa memasak sendiri jika lapar. Jangankan untuk memasak makanan, hanya untuk merebus air saja kau tidak mengizinkan aku melakukannya.

Akhrinya aku mendapatkan pekerjaan yang harus membuat kita harus berjauhan tapi kata – kata yang keluar dari mulutmu sungguh membuatku terharu

“Senin Abang pergi, tapi jumat sore Abang sudah kembali lagi. Cinta akan baik – baik saja.” ucapanmu sebenarnya membuatku bertambah risau, bagaimana tidak. Musim hujan beserta gledeknya tidak pernah membuatmu merasa nyaman, Cintaku punya fobia akan hujan apalagi hujan dibaringan dengan gledeknya yang membangunkan sejagat raya. Kau akan pucat pasi karenanya, hanya pelukan Ibu atau aku yang akan menenangkanmu istriku. Tapi kau memberikan aku semangat bahwa kau akan baik – baik saja.

Semua bagaikan berputar lagi dihadapanku, bagai menoton film saja aku dibuatnya, iya aku sempat rapuh dan hancur ketika dokter mengatakan bahwa buah cinta kita tidak bernyawa lagi, dengan berat hati harus dikeluarkan dari rahimmu. Aku tahu kau hancur, tapi kau masih menguatkanku

“Allah pasti punya rencana tersendiri serta tahu apa yang terbaik untuk kita Bang, insyaallah pasti akan ada lagi yang dititipkan buat kita.” Sedikitpun kau tidak menitiskan airmata ketika mengatakan itu.

Aku melihat kau didorong ke kamar operasi karena janin itu harus dikeluarkan, kau masih memberikan pandangan menguatkan buatku sebelum pintu kamar itu ditutup oleh perawat.

Aku cemas menunggumu, kata pertama setelah aku melihat dokter keluar sungguh membuatku takjub dan bersyukur kau adalah istriku

“Isteri anda hebat pak. Selama masa kuret hanya asma Allah yang dibacanya sampai kami merasa nyaman melakukan tugas kami. Yakinlah pasti ada saat yang Maha Kuasa menitipkan anak buat anda dan istri anda” Kata dokter yang menanganimu kala itu jika aku bukan laki – laki mungkin aku sudah menitiskan airmata atau meraung keras mengeluarkan keluh kesah di dada.(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan