Awal Derita Ku (part 13)

Cerpen, Fiksiana54 Dilihat

“ Maukah Cahaya menjadi pendamping hidup Indra?” aku merubah posisi dudukku sehingga bisa langsung memandang wajah Indra. Ternyata Indra sedang memandang wajahku dengan intens, aku mencari kesungguhan dimata Indra. Entah karena aku tidak percaya pada Indra atau pada diriku sendiri aku tidak bisa membaca apa yang ada pada mata Indra. Indra meraih tanganku, mengenggamnya dan mengulang kembali perkataannya.  “ Maukah Cahaya menjadi pendamping hidup Indra?” aku seperti baru tersadar bahwa aku bukan lagi membaca novel yang membuat aku terhanyut dengan jalan ceritanya, ya sekarang adalah cerita diriku. Aku tidak tahu mau menjawab apa, aku benar – benar tidak bisa berfikiran jernih saat ini, wajah ibuku dan Ibu Indra bergantian muncul di pikiranku. Terucap dari mulutku, apakah ini karena Ibu, atau ada alasan lain sampai Indra berani untuk mengatakan hal yang menurutku sangat mendadak? Aku melihat ekspresi wajah Indra mendengar jawabanku atas pertanyaannya. Sebenarnya aku menyesal mengatakannya tapi aku tidak tahu mengapa sampai aku mengucapkan kata itu. Indra diam seribu bahasa mengembus napas berat sebelum ia menjawab pertanyaanku.

“ Pertama ini karena Ibu, tapi tidak semuanya karena Ibu. Setelah Indra membaca biodata Cahaya, Indra mencari informasi tentang Cahaya. Mengamati Cahaya tanpa Cahaya tahu, Indra sudah melakukan sholat hajat memohon kepada Allah petunjuk. Tapi Indra tidak tahu apakah Cahaya melakukan hal yang sama, atau iseng – iseng saja sewaktu mendaftar di biro jodoh itu. Indra menatap mataku sewaktu mengucapkan kalimatnya, membuat aku merasa tidak enak. Entahlah aku tidak tahu, yang pasti sewaktu aku mendaftar di biro jodoh maksud hatiku memang untuk mencari jodoh agar ibu senang.

“ Indra lapar, temankan Indra makan di café kemaren kita makan?” kata indra sambil meraih tangank, aku tidak berkata – kata hanya bangkit dari duduk mengikuti Indra. Karena banyak mata pengunjung yang memandang Indra memegang tanganku, akhirnya aku menarik pelan tanganku dan berkata malu di lihat orang. Indra hanya tersenyum, kami berjalan berdampingan menuju café di depan rumah sakit. Masih seperti kemaren, sewaktu mau menyebarang jalan indra memegang tanganku, hari ini gengaman tangan Indra memberikan rasa lain dihatiku. Kami masih duduk ditempat yang sama di pojok café. Malam ini Indra memaksa aku memakan nasi jangan hanya makan gado – gado tidak mengenyang katanya aku hanya menganggukkan kepala saja. Ada beribu rasa yang sukar aku ucapkan, aku tidak lagi mendengarkan kata – .kata yang Indra ucapkan aku hanya terus berfikir apakah Indra jodohku. Aku dikejutkan oleh jentikan tangan Indra tepat di depan wajahku sambil berkata” Cahaya dimakan makanannya jangan hanya dipandang saja. aku tidak tahu kapan pelayan datang mengantarkan makan kami, aku hanya memandang wajah indra dengan sejuta tanya di fikirannku sehingga tidak memperhatikan yang lainnya. Kami makan dengan tenang, sekali – sekali aku mencuri pandang ke arah Indra. Indra makan dengan lahap dengan wajah yang penuh senyum. Butuh waktu lama aku menghabiskan makanan yang ada didepanku sehingga terdengar suara Indra “ Cahaya tidak suka dengan menunya” aku mengalihkan pandangan mataku ke arah piring makan Indra ternyata sudah habis. Aku jadi malu, akhirnya aku menghabiskan makananku dengan susah payah karena Indra terus memandangiku. Akhirnya suapan terakhir masuk kedalam mulutku untuk menuntaskan masuknya nasi aku meminum air putih, merapikan sendok dan garpu didalam piring dan mengalihkan piring kekiri dan meraih air jus orange sambil mengaduk – aduk jus orange dengan pipetnya. Aku tidak berani memandang ke arah Indra karena semenjak tadi Indra terus memandang wajahku intens.

“ Cahaya belum menjawab pertanyaan Indra, maukan Indra menjadi teman pendamping hidup Indra. Indra mengulang lagi pertanyaannya. Mengucap bismillah aku berkata “ bolehkan Cahaya tahajjud dulu sebelum menjawab pertanyaan Indra. Akhirnya suaraku keluar juga dari mulutku dengan susah payah dan malu. Akhirny ini malam mingguku setelah sekian tahun aku melalui malam minggu yang selalu ditemani ibu dan adik – adikku.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.30 belum lagi aku mengeluarkan kalimat dari mulutku aku suara Indra sudah mengema diteligaku.

“ Sudah malam, sebaiknya Cahya pulang. Besok – besok biar Indra jemput saja jika ingin mengunjungi Ibu. Biar senang Indra mengantarnya, sekarang kita pulang dulu. Berjalan menuju kasir selesai membayar makan kami menuju mobilku yang terpakir di parkiran rumah sakit. Sepanjang jalan kami hanya terdiam, sekali – sekali kami saling mencuri pandang kearah masing – masing jika padangan kami beradu kami hanya saling memberikan senyum. Aku menekan remote pintu mobil, Indra membukakan pintu mobil untukku dan menutupnya kembali setelah aku duduk.

“ hati – hati dijalan, sampai di rumah jangan lupa menelepon malan ini Indra  tidur di rumah sakit menemani Ibu.”

Aku menghidupkan mobil dan memberikan senyum termanisku kepada Indra sambil mengucapkan salam dan berlalu. Dari kaca spion aku dapat melihat Indra melangkah masuk ke dalam rumah sakit.(bersambung)

***

Tinggalkan Balasan