“ Jangan di goda terus Cahayanya Bu, nanti dia kapok untuk main kesini lagi.”
“Ya nggak usah main, tinggal aja disini sama Ibu dan Indra. Iyakan Cahaya? Ibu menantapku sambil tersenyum mengatakan itu.
“Tu kan Cahayanya malu, digodain Ibu terus.”
Sepertinya Ibu dan Indra terus saja membuat wajahku seperti kepiting yang di rebus memerah karena perkataan mereka.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, tak terasa sudah lama juga aku berada di rumah Indra. Belum sempat aku menyampaikan maksud hati untuk pulang, Ibu Indra sudah bersuara
“ In, sana beli makanan untuk makan siang. Kasian sudah siang masak Cahaya hanya disuguhi teh dan gorengan saja?
“ Tidak apa – apakan siang ini temani Ibu makan?”
“ Beli nasi ramas dan bebek bakar yang enak itu, Cahaya makan bebek?
Aku hanya mengangguk saja, tidak tahu mau berkata apa.
“ Indra tinggal sebentar ya.” Tolong lihatin Ibu
Indra pergi meninggalkan aku dan Ibu, suasana hening sejenak. Ibu melambaikan tangannya meminta aku untuk duduk di samping tempat tidurnya. Meraih tanganku dan berucap.
“ Ibu berharap Cahaya mau menjadi menantu Ibu, Ibu tahu Indra dan cahaya baru berkenalan tapi Ibu yakin pilihan Ibu tidak salah. Kita orang Islam tidak perlu berkenalan terlalu lama itu tidak baik, takut ada godaan setan. Kalian bisa saling mengenal setelah menikah nanti. Ibu dan Ayah Indra juga seperti itu dulu, melihat nak Cahaya ibu percaya kalian cocok satu sama lain. Tatapan mata Ibu sewaktu mengatakan itu membuatku merasa seolah telah mengenal lama Ibu. Tanpa terasa kepalaku mengangguk seakan mengiyakan apa yang di katakana Ibu.
“ Insayallah, minggu depan setelah Ibu pulih benar Ibu akan datang meminang Cahaya bersama pamannya Indra.” JIka Cahaya tidak keberatan Ibu dalam waktu satu bulan setelah ibu datang meminang Cahaya kalian menikah.”
Sekali lagi aku menganggukkan kepala atas apa yang dikatakan Ibu Indra.
“ Assalamualikum,” aku dan ibu menoleh ke arah pintu kamar, Indra sudah pulang dari membeli makan siang kami.
“ Cahaya bantu Indra dulu bu,” kataku sambil melepas tangan Ibu yang masih mengenggam tanganku.
“ Ya sana, tapi tidak boleh macam – macam ya. “ Ibu mengodaku, Indra hanya tersenyum mendengar perkataan Ibunya dan aku yakin pasti wajahku memerah karena perkataan Ibu. Berjalan menuju ke arah Indra, mengambil kantong makanan yang dibawa Indra.
“ Memangnya tahu dapurnya dimana?” Indra sama saja dengan Ibunya yang suka mengodaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku mendengar tawa Ibu dan Indra karena melihat aku salah tingkah.
“ Udah sana tunjukkan Cahaya dapurnya? Nanti Cahaya nangis ibu tidak mau bertanggung jawab” Ibu masih saja mengodaku.
Aku mengikuti Indra ke dapur, Indra menunjukkan tempat piring, sendok, dan peralatan makan lain yang kami perlukan. Sebelum menantanya di meja makan aku bertanya kepada Indra
“ Ibu mau makan dimana?
“ Kok Cuma Ibu yang makan trus kita tidak makan? Indra masih saja mengodaku.
“ Aku pulang saja jika terus di goda” Kataku kepada Indra.
“ Maaf, Indra suka melihat wajah Cahaya jika lagi di goda.
“ Indra tanya Ibu dulu ya” jawab Indra sambil berlalu meninggalkan aku di dapur sendirian.
Sambil menunggu Indra aku berfikir apakah ini benar atau hanya ilusi semata, aku mencubit tangan kananku terasa sakit, berarti aku tidak lagi bermimpi. Suara langkah kaki mendekati dapur,
“ Ibu makan bersama kita di meja makan.” Aku melihat Indra mengandeng Ibu menuju meja makan. Aku meletakkan peralatan makan kami dimeja menyalin semua makan kedalam wadahnya, menuangkan air minum ke dalam gelas Ibu, Indra dan untukku sendiri. Makan siang yang begitu istimewa buatku, entahlah buat Ibu dan Indra.(bersambung)
***