Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Dari tadi pagi di rumah sudah riuh-rendah dengan gelak tawa sanak saudara yang datang untuk menghadiri acara pertunanganku. Beberapa ibu – ibu yang kebetulan teman dekat ibuku datang dan membantu masak bersama. Kenduri kecil – kecil sebelum rombongan kami menuju rumah Cahaya.
“ Jangan diliatin terus foto calonmu itu,” suara paman mengejutkanku. Menggaruk kepala yang tidak gatal.
“ Orang lagi lihat chat whatsapp dari Andi kok paman.”
“ Mana ada lihat chat tapi senyam senyum begitu, sudahlah paman juga pernah muda”
Paman berlalu sambil meninju bahuku dan meninggalkan aku sendiri.
“ Oi jangan asyik melamun, kesambet jin aprit baru tahu.” Tiba- tiba Andi sudah berada di sampingku.
“ Sudahlah, sebentar lagi juga ketemu orangnya tidak perlu fotonya dipandangi terus” celoteh Andi di sampingku
“ Cerewet kayak Ibu – ibu pengajian saja”
“ Bu…. Indra bilang ibu cerewet.” Andi memanggil ibu dengan suara kayak tarzannya sehingga orang sekampung bisa mendengarnya.
“ Hus pelankan suaramu, kau kira rumahku hutan belantara.”
“ Biar saja, biar ibu – ibu itu dengar dan pada pulang.”
Aku meninju dada sahabatku
“ Kamu itu ya, paling suka melihat aku menderita.”
Andi tertawa lebar mendengar perkataanku
“ Hahaha sudah pandai merajuk rupanya kawanku ini, sabarlah, Bung. Aku hanya mengusikmu saja. aku senang melihat dirimu bahagia, aku pikir kawanku yang satu ini tidak suka sama perempuan. Ternyata dia pulak yang menikah dulu daripada aku.”
Andi sahabat dari SMA yang selalu menjadi teman curhatku tentang wanita idamannku. Dan hari ini Andi juga yang akan menjadi pengapit dalam acara pertunanganku.
***
Azan magrib telah terdengar memanggil, sebelum berpakian aku sudah mengambil wudhu sholat berjamaah bersama Ibu paman bibi dan Andi. Aku didaulat paman untuk menjadi Iman, hitung – hitung belajar jadi Imam kata paman.
“ Jangan baca surat pendek saja, Cahaya tidak lari kemana” canda Andi sebelum aku melangkah kedepan syap untuk menjadi imam. Aku hanya membesarkan mataku ke arah Andi.
“ Sudah Andi jangan bercanda kita sholat dulu.” Kata paman. Paman dan bibi sudah terbiasa dengan kelakuan aku dan Andi. Kamipun solat.
Setelah mengucapkan salam aku berdoa semoga apa yang aku hajatkan mendapat ridhonya serta acara pertunangan ini berjalan lancar.
Andi menyupir. Aku duduk di sebelahnya. Sementara di belakang Ibu, Paman, dan Bibi. Belum juga mobil di stater oleh Andi, ibu berkata kepadaku
“ Andi cincin pertunangannya mana?”
“ Masih di kamar bu.” Aku memukul dahiku mengingat kecerobohannku.
“ Sudah, biar bibi yang ambil, jangan keluar dari mobil.
“ Dimana Andi meletakkannya?” Tanya bibi lagi
“ Biar Indra saja yang ambil bi.” Kataku
“ Jangan “ ibu dan bibi serentak berkata
“ Memangnya kenapa?” kataku
“ Sangkak, Indra” kata bibi
“ Apa sangkak bu” tanyaku
“ Kalau sudah mau berangkat tidak boleh kembali lagi, tak baik nanti ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.” Penjelasan Ibu, Akhirnya paman menggantikan Andi untuk menyupir, Andi dan bibi akan menyusul dengan mobil yang lain setelah mengambil cincin di kamarku. Aku tidak mau membantah, daripada tidak jadi melamar Cahaya.
Belum lama kami keluar dari rumah, tak ada tanda akan hujan, eeh tiba – tiba hujan turun dengan lebat. Suara dentuman terdengar keras, aku hanya mendengar suara ibu berteriak keras sambil menyebut asma Allah berulang kali. Gelap, gelap sekali aku tidak mendengar suar ibu maupun paman. ( Bersambung)
***