Namaku Aisyah, Aku Ingin BAhagia

Cerpen, Fiksiana34 Dilihat

Aku tersenyum memandang langit yang penuh dengan bintang, langit sepertinya lagi bercengkrama dengan bintang tidak seperti malam sebelumnya langit hanya ditemani awan mendung. Malam ini juga bulan sepertinya menunjukkan dirinya sehingga siapapun yang memandangnya pasti akan ikut bahagia bersama mereka.

“Lagi melihat apa?.” Yang membuatku terkejut bukan suaranya yang lembut tapi pelukan yang diberikannya, tidak seperti biasanya dia berlaku seperti ini, batinku.

Kebiasaanku memandang langit sudah hampir dua bulan ini, sejak dia tidak lagi bisa menemaniku di rumah selalu saja ada alasan untuk tidak di rumah walaupun aku tahu bahwa aku berharap banyak kepadanya.

Flasback

“Aku terima nikahnya bla…bla….”  Sah serempak semua yang hadir mengucapkannya. Abi Umi tersenyum bahagia, senyum palsu harus aku hadirkan untuk tetap membuat mereka bahagia.

“Alhamdulillah, akhirnya anak Umi sudah ada yang memilikinya.” Elusan di kepalaku serta ucapan lembut Umi terdengar di telingaku.

“Jadilah istri yang berbakti dan mengabdi kepada suami ya sayang.” Aku memandang Umi senyum tidak pernah lepas dari bibir Umi.

Namaku Aisyah, Abi Umi memberikan nama itu supaya aku berbakti seperti anaknya Nabi. Aku kadang berfikir berbakti seperti apa yang Abi Umi maksudkan. Apakah dengan mentaa’rufku dengan seseorang yang tidak aku kenal merupakan pengabdian menurut mereka.

Kepalaku akan terasa sakit jika mengingat pada zaman yang sudah modern masih saja ada orangtua yang memaksa anak mereka untuk menikah tanpa mengenal siapa calon suami istri mereka.

Foto seorang pria yang sekarang aku pandang, tidaklah jelek dari ukuran 1 sampai 10 bisa dikatakan dia berada pada angka 8 tapi aku tidak mengenalnya. Senyum yang terukir belum tentu orangnya menyenangkan, semua yang di dalam foto bisa saja dibuat untuk membuat orang tertarik itu yang berada di pikiranku saat menatap foto yang disodorkan Umi sebagai calonku.

“Sudah mampan dan yang penting agamanya bagus, sudah umrah lagi.” ucap Umi membanggakannya kepadaku.

***

Zaman boleh maju, tapi Abi Umi adalah produk sholeh dan sholehah sehingga kami yang notabene anaknya didik secara islami. Abangku yang tertua juga berta’arufan, kakaku yang nomor dua juga sama. Sekarang tinggal aku yang bontot mau tidak mau harus juga mengikuti tradisi.

Semenjak itu aku jadi malas dekat dengan cowok, daripada aku sudah terlanjur cinta tapi cintaku direnggut oleh Abi Umi mendingan aku menghindar, boleh sombong sejak Es Em Ep sudah banyak yang naksir dengan diriku. Walaupun aku menggunakan jilbab tidak mengurangi aura kecantikanku itu kata teman – temanku.

Sekarang aku bagaikan tersia – siakan, bagaimana tidak sejak kata sah diucapkannya aku lebih sering di tinggalkan dengan alasan pekerjaan, aku hanya bisa menghela napas jika mengingat itu dan akhirnya entah kapan aku suka memandang langit malam yang bertaburkan bintang yang membuat hatiku  merasa tenang.

“Apa yang membuat Ais merasa lebih menyukai langit dari memandang diriku.” Tak bersalah dia mengucapkan itu, aku memandangnya sekilas dan kembali menatap langit bersama bintangya.

Pelukkan di bahuku semakin mengencang aku mengalihkan pandangan mataku dari langit bintang dan melihat dirinya dari samping.

“Kita perlu bicara.” Ucapnya sambil mengajakku untuk duduk di ranjang kami.

“Maafkan selama dua bulan ini aku tidak menemani malam Ais, tapi percayalah tidak ada maksud untuk mengabaikan pernikahan kita.” Aku hanya meremas tanganku dengarkan penuturannya. Dia meraih tanganku dan mengenggamnya, membuat sekujur badanku merasakan rasa yang aneh, tapi rasa kesal sudah bercokol membuatku menarik tanganku dari genggamannya.

“Tidak apa – apa Ais sudah terbiasa dengan keadaan ini.” Ucapku pasrah.

“Masih ingat dengan ini.” Katanya sambil menunjukkan kupu – kupu yang sudah  awetkan dalam wadah cantik yang membuatku terkesiman.

“Ini bukan kupu – kupu sepuluh tahun yang lalu sewaktu kita Es Em  Pe tapi dua bulan ini aku mencarinya dan mengawetkannya supaya Ais ingat akan diriku.” Ucapannya membuatku terkejut dan langsung menutup mulutku ketika mengingat masa Es Em Pe itu.

“Raihan.” Ujarku dalam keterkejutan yang tidak bisa aku simpan

“Alhamdulillah akhirnya Ais mengingatku.” Ucapnya lembut dan meraih tanganku lagi.

Raihan salah seorang siswa di kelasku yang selalu usil dan sering mengatakan kepadaku jika kami besar nanti dia akan menjadikan diriku istrinya. Waktu itu aku sangat kesal dan mengatakan padanya jangan bermimpi terlalu tinggi.

“Ais tidak mau sama Raihan.” Pekikku kuat ketika Raihan mengutarakan maksud hatinya.

Mengingat itu aku jadi tersenyum sendiri, bagaimana aku tidak mengenali Raihan sewaktu Umi menyodorkan fotonya, begitu juga seminggu setelah kami menikah Raihan selalu berusaha mengingatkan aku akan dirinya.  Aku begitu kesal kepada Raihan ketika dia merusak kerja IPA ku untuk mengumpulkan Kupu – kupu yang diawetkan. Aku sampai menangis kala itu, saking kesalnya. Senyumku terbit, mengingat kejadian itu.

“Raiah tidak pernah berbohong bukan, sekarang Ais sudah menjadi istri Raihan.” Aku tersenyum malu mendengarnya

Malam ini aku tidak lagi memandang lagit karena ada langit lain di depanku sekarang ini, akhirnya aku bisa menikmati rasanya dijodohkan dan tak selama jodoh itu buruk.***

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan