Abu – Abu Cintaku (1)

Senja tak lagi membuatku merindukannya, lembayung dengan warna jingganya tidak memberikan makna. Dulu aku sangat menikmati pemandangan dikala senja, berlama – lama hanya memandangnya duduk dalam dekapanmu. Harum aroma badanmu membuatku merasa nyaman, kecupan di puncak kepalaku mengalirkan rasa bahagia. Aku ingin hidup bertahun lamanya kala itu.

Namaku Aisyah Putri, anak semata wayang dari kedua orangtuaku, hidupku bolehkan mewah untuk ukuran keluarga sederhana tapi itulah kenyataanya. Semua keinginanku selalu aku peroleh dengan mudah, tapi untuk yang satu ini orangtuaku tidak bisa memenuhinya.

Aku memandang senja dari jendela kamarku, tidak seperti sebelumnya aku menikmati senja dengan warna jingganya di tepi pantai bersamanya.

Airmata tak dapatku bendung, dari tadi sudah membanjiri membuat aliran sungai dipipiku. Terus saja aku meratapi diri, membenci dirinya yang telah meninggalkanku. Aku marah dengan kedua orangtua, aku mengatakan mereka tidak mencintaiku mereka menolak untuk membawanya kepadaku.

Benciku mengunung, ada batu besar yang ingin aku luahkan tapi tetap bercokol di dadaku. Sudah 3 hari aku mengurung diri dalam kamar, aku hanya memandang senja dari balik jendela kamarku.

Flasback

“Ais lihat warna jingga senja itu.” Jari Indra menunjuk jauh kesana, manik mataku mengikuti arah    jarinya.

“Indra akan seperti senja itu selalu menenami hari – hari Ais dengan Cinta.” Ucapnya membuatku merasa malu.

“Indra tidak akan menjadi matahari yang membakar Ais, tapi senja yang akan memberikan rasa damai buat Ais.” Sekali lagi aku tersenyum malu, dan merebahkan kepalaku di dadanya yang bidang.

 Dalam sepekan dua sampai tiga kali kami menghabiskan senja dengan memandangi warna jingganya di tepi pantai ini.

“In, kapan Indra akan mengenalkan Ais dengan keluarga Indra?” pertanyaan yang sudah kesekiankalinya aku tanyakan kepada Indra tapi hanya senyum tersungging di bibirnya yang selalu membuatku terpesona melihat senyumnya.

“Nanti jika waktunya sudah tepat.” Jawaban klise yang selalu menjadi andalanya, tapi aku bagaikan tersihir selalu percaya dengan janji manisnya.

***

Tok tok tok

Ketukan di pintu kamarku tidak aku gubriskan, suara lembut ibuku tidak lagi memberikan rasa nyaman ditelingaku.

“Ais, Ais sudah tiga hari Ais mengurung diri, keluarlah Nak.” Aku tidak menjawab panggilan Ibuku.

Duniaku porakperanda setelah Indra meninggalku, ini semua karena Ayah Ibu dengan keras melarangku menikah dengan Indra.

“Bu Ais ingin menunjukkan sesuatu kepada Ayah Ibu.” Ucapku malu, sambil menunjukkan layar gawaiku kepada Ibu setelah itu baru menunjukkanya kepada Ayah.

‘Ayaaaah.” Suara ibu membuatku kaget.

Ayah mengambil gawai, ekspresi yang sama dengan Ibu terlihat jelas di wajah Ayah, tanpa aba – aba Ayah Ibu meninggalkan aku sendiri, pintu kamar Ayah Ibu langsung tertutup rapat membuatku binggun.

“Ayah Ibu ada apa?” tanyaku cemas.

Tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar Ayah Ibu, akhirnya aku melangkah menjauhi kamar Ayah Ibu menuju kamarku.

“Ada apa?” batinku

Di kamarku aku menelepon Indra menceritakan semua kejadian yang baru saja aku alami dengan maksud bermanja – manja kepada Indra. Tapi yang aku dapat bukannya suara yang selalu membuat hatiku merasa nyaman tapi bentakan Indra

“Aku sudah katanya biarkan Aku yang menemui Ayah Ibumu.” Setelah mengatakan itu Indra memutuskan sambung gawai kami.

Aku meneteskan airmata, netraku panas aku tidak mengerti dengan orangtuaku dan Indra, apa salahku sehingga mereka marah denganku. Airmataku membuat anak sungai terus mengalir hatiku menangis pilu.

***

Sudah sepurnama aku tidak mendengar kabar dari Indra, gawainyapun tidak aktif.

“Ais jangan bertemu lagi dengan Dia.” Ancam Ayah setelah tiga hari mendiamkanku.

“Tapi mengapa Ayah?” tanyaku pilu

“Ini untuk kebaikan Ais.” Suara Ayah masih bernada tinggi, sementara Ibu masih mendiamkanku sejak saat itu.

“Satu lagi,Ais belum terlanjur dengan Indrakan?” pertanyaan Ayah membuat bulu kudukku merinding.

“Belum Yah.” Suaraku tidak bermaya.

“Jawab yang tegas, Ayah tidak mau Ais menyesal dikemudian hari.” ucapan Ayah makin membuatku bingung. Ayah berlalu meninggalkanku dalam kebingungan, sementara gawai Indra tidak juga bisa aku hubungi.

***

Tinggalkan Balasan