Aku terus memikirkan hubunganku dengan Indra, Indra selalu menyanyangiku hanya mengecup pucuk kepalaku tidak lebih, jika aku meminta lebih Indra selalu berkata belum saatnya karena itu rasa cintaku kepada Indra besar. Indra selalu memberi alasan setiap aku meminta Indra datang bertemu Ayah Ibu, alasan yang menurutku tidak dibuat – buat. Perasaan sebagai perempuan tentu aku ingin kepastian, terlalu lama menurutku Indra siap untuk bertemu Ayah Ibu, karena itu aku berinisiatif menunjukkan foto Indra kepada Ayah Ibu tapi aku akhirnya kecewa dengan respon yang diberikan Ayah Ibu serta Indra.
Apa yang salah, dimana salahku. Aku terus berfikir, sambil memandang senja dengan warna jingganya dari balik jendela kamarku.
“Mungkinkah Indra menunggu dipantai untuk memandang warna jingga disenja hari,” batinku.
Aku tidak mau kecewa sudah beberapa pekan aku selalu datang pada hari yang sama dimana kami selalu berjanji untuk melihat senja dengan warna jingganya di pantai itu, tapi netraku mencari dan mencari tapi sosok Indra tidak kutemui, aku kecewa.
***
Senja ini dari balik jendela kamarku aku memandang warna jingga itu dengan manik mata yang sendu, suara ketukan pintu tidak aku pedulikan. Aku terus memanggil nama Indra, akhirnya sayup – sayup terdengar pintu didobrak, tapi kesadaranku telah hilang.
Pendengaranku mulai peka, pelan aku membuka netraku ada wajah Ibu duduk didepanku sementara Ayah berdiri dibelakang Ibu dengan Netra yang membengkak, ibu menangis tersedu – sedu. Aku membuang muka tidak mau melihat Ayah Ibu, aku malu. Aku melihat pergelangan tanganku ada perban disana, aku merutuki diriku yang tidak jadi mati.
“Ais, Indra itu Abang Ais.” Suara Ayah bagaikan bom yang meledak memekakkan telingaku.
“Ayah tidak usah mengarang cerita.” Tangisku pecah setelah mengatakan itu.
“Maafkan Ayah Ibu nak, Ais bukan anak kandung kami. Ais kami adopsi dari panti asuhan, waktu itu Ayah tida bisa mengambil kalian berdua, tapi Ayah selalu memantau perkembangan Indra dari jauh lewat panti. Setahun sekali Ayah akan memberikan bantuan kepada tempat Ais pernah tinggal. Sebenarnya tahun lalu Ayah sudah mau memperkenalkan Ais kepada Indra, tapi tidak jadi.” Ayah menghentikan ucapanya sambil mengambil napas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Indra pernah berjumpa dengan Ayah Ibu meminta izin untuk bertemu dengan Ais, tapi Ibu khawatir Ais tidak bisa menerima kenyataan bahwa Ais bukan anak kandung kami. Kami tidak menyangka semuanya akan jadi seperti ini.” Suara Ayah lemah
“Ais.” Suara yang aku rindu sepurnama ini terdengar dari pintu seiring panel pintu kamarku terbuka.
“Kak Indra.” Tangisku pecah aku bingung apa yang mesti aku lakukan. Pantas selama ini Indra selalu menyebut dirinya dengan kakak, selalu mengayomiku selayak kakak hanya aku yang menganggap lebih.
Aku malu dengan diriku sendiri, perlahan Kak Indra menghampiriku dan mengenggam tanganku.
“Maafkan kakak yang tidak berterus terang, karena Ayah Ibu Ais selalu meminta kakak untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.” Ucapan Kak Indra membuatku menangis sejadi – jadinya malangnya nasibku, batinku lirih.***