Keringat jagung bertebaran di wajahku, napasku tersengal sungguh mimpi ini sering menganggu tidur nyenyakku akhir – akhir ini. Memandang sekeliling, seperti nyata tadi aku berdiri di lapangan luas berwarna hijau aku seperti kehilangan di sana, tak ada siapa – siapa hanya aku di kelilingi rumput hijau sejauh mata memandang. Aku berteriak tapi tak ada yang menyahuti, aku teramat takut sehingga aku terbangun dari mimpi yang sudah berulang kali dalam sepekan ini.
Setelah yakin aku berada di kamarku, aku berusaha mengusir haus dengan berjalan menuju pintu kamar, menuju dapur. Pintu kamarku terbuka, sosok bunda di depan pintu kamar membuat terkejut sehingga aku mundur satu langkah kebelakang.
“Ada apa sya, bunda mendengar teriakkan sya barusan.” Suara bunda cemas ketika mengatakan itu.
Setelah menguasai keadaan, aku berlari mendapatkan bunda dan memeluknya erat.
“Sya mimpi yang sama bunda, berada ditengah – tengah lapangan sendirian. Sya teriak tapi tidak ada yang menyahut.” Jelasku kepada bunda dengan mengiba, bunda mengelus pundakku memberikan ketenangan kepadaku.
“Hanya mimpi sya tidak usah dipikirkan, sya mau kemana?” tanya bunda
“Haus bunda, mau ke dapur.” Jelasku
“Ayo bunda temani.” Bunda melepas pelukan kami, membimbing aku menuju ke arah dapur.
***
Aku mengeliatkan badanku, panasnya sengatan matahari yang menembus jendela kamar mengenai wajahku membuatku terbangun dari tidur yang baru saja. bagaimana tidak setelah minum tadi malam aku kembali ke kamar, mataku tidak bisa dipejamkan baru pukul menunjukkan angka tiga subuh aku baru bisa tertidur setelah menunaikan sholat hajat meminta ketenangan kepada-Nya.
Secepat kilat aku menuju kamar mandi mengambil wudhu, dan menyelesaikan sholat subuhku yang terlambat. Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi, untung saja hari ahad sehingga aku tidak terburu – buru untuk pergi mengajar seperti hari biasanya.
Aku mendengar suara gaduh dari luar, pastinya dari arah dapur, bunda lagi mengeksekusi sarapan dengan menu baru seperti yang biasa bunda lakukan jika di hari ahad, senyumku mengambang mengingat bagaimana antusiasnya bunda mencoba semua resep yang ada di youtube. Untuk hasilnya tergantung, kadang enak kadang juga di luar prakiraan, hancur banget rasanya. Pasti sebentar lagi suara Ayah akan terdengar mengomeli bunda dengan kata – kata yang menurutku sungguh romantis.
“Bunda tidak capek, nyoba resep baru mendingan masak nasi lemak saja. sudah teruji buatan Bunda nomor satu.” Benarkan suara Ayah sudah terdengar pasti eksekusi bunda tidak berhasil.
Cepat aku membersihkan diri, rasanya tidak sabar untuk bergabung bersama mereka, aku seolah – olah melupakan mimpi yang beberapa malam ini menganggu tidurku.
***
“Assalamualaikum, Bunda Ayah.” Ucapku sesampai di dapur dan meraih tangan Ayah untuk di cium sementara bunda mendapatkan ciuman di pipi dariku.
“Curang Bunda dapat ciuman.” Suara Ayah merajuk, secepat kilat aku mencium pipi tua Ayah yang masih terlihat gagah di usianya.
‘Bunda masak apa?” aku mencoba melirik apa yang bunda masak, penampilanya menarik tapi rasanya belum tentu, apalagi mendengar komentar Ayah dari dalam kamarku tadi.
Bunda mengambil sesendok apa yang dimasaknya dan menyuapkannya padaku.
“Rasanya enak bunda.” Aku melirik Ayah sepertinya Ayah mengerti maksudku.
“Tapi Ayah lebih suka nasi lemak buatan Bunda.” Terang Ayahku, membuat aku tersenyum
“Pencinta masakan tradisonal sih Ayah.” Ucapku sambil menjahili Ayah dengan mengacungkan jempol kepada Ayah.
“Bunda juga masak nasi lemak, Yah. Bunda masak ini buat Syahnaz Yah.” Terang Bunda kepada Ayah.
Aku membantu bunda untuk menyiapkan meja makan buat kami sarapan. Aku senang melihat bunda dan Ayah yang selalu akur dan romantis. Pikiranku melayang, sosok yang aku rindu hampir sepurnama sudah tidak menghubungiku sejak di mutasi oleh kantornya.
***
“Abang janji, setiap hari akan menghubungi Sya.” Ucap Bang Raihan kala ia pamit untuk berangkat.
Aku memandang punggungnya yang berjalan menuju dermaga, kapal yang akan membawa Bang Raihan ketempat kerja yang baru.
Riahan Putra, sosok lelaki yang sudah setahun ini bertahta di hatiku, aku berharap dia akan menjadi Ayah anak – anakku kelak. Aku memandang cincin yang tersemat manis di jariku dua hari sebelum berangkat Bang Raihan sudah mengikatku dalam ikatan pertunangan.
“Abang sibuk sekali ya?” tanyaku setelah pembicaraan kami terakhir kami lewat gawai.
“Maaf Sya,Abang tidak memenuhi janji Abang untuk setiap hari menelepon. Kantor dalam masalah, Abang harap Sya mengerti.” Ku lihat wajah lelah terpampang lewat video call kami.
“Abang kurusan, jangan lupa makan dan istirahat.” Mataku nanar melihat wajah Bang Raihan yang terlihat lebih tirus dari biasa.
“Abang kurang istirahat, Sya. Sya terlihat cantik. Abang rindu.” Ucapanya membuatku tersipu.
“Abang suka melihat rona merah di wajah Sya.” Ucapnya lagi membuatku tambah malu
“Sya juga rindu Abang.” Ucapku malu, waktu itu.
Rindu melanda hanya kenangan yang menjadi sasaranku untuk menghilangkan rindu ku pada Bang Raihan.
***
Sekarang hanya kenangan yang aku miliki, berharap bisa seperti Ayah dan Bunda tua bersama Bang Raihan hanya tinggal kenangan. Hanya pusara yang selalu setia aku kunjungi untuk mengirimkan doa semoga Bang Raihan tenang di sana.
Flashback
Tok tok tok, ketukan dipintu kamarku terdengar. Setelah menyelesaikan sholat Asarku yang terlambat sedikit karena baru sampai di rumah karena macet tadi. Aku melihat raut wajah Bunda yang tidak seperti biasanya.
“Sya, gawainya mati ya?” tanya bunda
“Iya Bunda. Baru saja syahnaz cas, ada apa bunda?” hatiku menjadi galau tidak pernah bunda bertanya seperti itu.
“Kita duduk dulu.” Bunda meraih tanganku dan melangkah masuk ke kamarku menuju ranjangku. Kami duduk di kasur, aku melihat kecemasan di wajah bunda.
“Barusan ada telephon dari orangtua Raihan.” Aku melihat ibu menarik napas dalam sewaktu mengatakan ada telephon dari orangtua Raihan.
“Ada kecelakaan di tempat kerja Raihan, Raihan termasuk salah satu korbanya.” Dadaku berdetak kenjang, menatap netra Bunda mencari kebenaran di matanya.
“Raihan sudah pergi meninggalkan kita Sya.” Isak Bunda mulai terdengar, pandanganku kabur hanya bayangan Bang Raihan yang akhirnya semakin kabur setelah itu aku tidak ingat apa – apa lagi.
***
Gundukan tanah yang masih baru, tapi hatiku masih terpaku dengan kenangan bersama Bang Raihan. Setiap kamis sore aku setia mengunjunginya mengirimkan surah yazin untuknya. Bercerita bagaimana aku menghabiskan waktuku dengan selalu rindu akan kehadirannya. Hanya tetesan air mata setiap aku rindu akan kehadiranya, aku memandang cincin di jari manisku sambil membantin, Syahnaz rindu Abang.***