Meraih Asa di Kota Gudeg (part 2)

Namaku Aisyah Nurulhuda, Ayah dan Ibu memanggil aku Ais begitu juga dengan teman – temanku. Aku meninggalkan tanah kelahiranku karena cintaku yang bertepuk sebelah tanggan. Aku menguatkan hati untuk pergi jauh dari kampung untuk mengobati luka di hati, jauh dari orang yang mengakibatkan luka dihatiku.

“Ais kamu mau ke Yogyakan, kita sama – sama ya.” Terdengar suara Andi setelah kami mencari tempat untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan kami.

“ Kamu sendiri memangnya mau kemana, yogya juga?” tanyaku kepada Andi

“ Memang Yogya kamu punya, sehingga aku tidak boleh ke Yogya?” Andi selalu begit menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain.

Aku sebenarnya sudah lama mengenal Andi kami tetangga walaupun tidak tepat di sebelah rumah, rumah Andi 4 rumah dari rumahku. Andi terlalu pendiam menurutku, kami terteman tapi aku lebih akrab dengan Akmal, kemudian di SMA aku juga satu kelas dengan Akmal sementara Andi di kelas yang berbeda.

“Ais kamu suka melamun, kemasukan baru tahu.” Sekali lagi suara Andi mengangetkan aku. Aku hanya tersenyum sambil berkata

“Aku naik kereta api ke Yogya.” Aku tahu andi termasuk anak orang kaya di tempatku

“An, kamu kok naik kapal pelni, tidaknya naik pesawat?” kan orang tuamu mampu, lagian lebih cepat sampai dan tidak melelahkan.

“Aku, pengen sama – sama kamu.” Jawaban singkat Andi, membuatku tersenyum kecut.

“Kamu sekarang berbeda An.”

“Apa yang beda, kamu yang tidak pernah memperhatikan aku. Hanya Akmal yang menjadi prioritas kamu.” Aku melihat wajah sendu sewaktu andi mengatakan kalimat terakhirnya kalau aku hanya memperhatikan Akmal.

“Ayo kita keterminal.” Ajakku kepada Andi, aku tidak mau berlama – lama membahas tentang Akmal, hanya menambah luka dihati saja.

Sebelumnya aku ingin naik taxi supaya aman, tapi karena Andi mengajak naik bis Damri akhirnya aku menurut saja, Andi sudah biasa di Jakarta setiap liburan Andi akan diajak berlibur ke Jakarta oleh orang tuanya sekalian menjenguk kakaknya yang tinggal di Jakarta.

Banyak pertanyaan yang ingin ku tanyakan kepada Andi, mengapa tidak naik kapal, mengapa tidak di jemput kakaknya dan pertanyaan lain yang akhirnya aku simpan sendiri. Lebih baik aku bersama Andi sehingga lebih selamat dan bisa menghibur hatiku dengan adanya teman satu kampung dalam perjalanan ini batinku dalam hati.

Andi menunjukkan, barcod kepada petugas karcis kereta api, aku hanya mengikuti Andi saja. kemudian kami masuk ke peron kereta api. Kereta api kami berangkat 1.5 lagi. Aku dan Andi mencari satu bangku untuk tempat kami beristirahat sambil menunggu kereta api tiba.

“Ais, tunggu di sini.” Aku hanya memandang Andi yang pergi meninggalkan aku bersama barang bawaanya yang diletakkan di atas kursi sebagai penanda untuk tidak di duduki oleh orang. Tak lama kemudian Andi datang dengan tangan membawa tentengan plasitik makanan dan minuman.

“Ini untuk Ais, pasti haus dan laparkan?” aku tersenyum sambil mengambil plastik pemberian Andi.

“Berapa?” sepuluh juta, Aku memandang Andi

“Becanda, sekali – kali boleh aku traktirkan.” Andi tersenyum memandangku

“Terima kasih.”

Andi duduk setelah meletakkan barang bawaannya kebawah, dan langsung mengeluarkan makan dan minuman yang dibelinya.

“ Ayo makan.” Aku mengikuti Andi mengeluarkan makan dan minuman dan memakannya.

Aku lebih banyak diam, dan Andi menjadi sahabat yang baik dengan membiarkan aku dalam kediamanku. Sampai kami mendengarkan pengumuman bahwa kereta api yang akan membawa kami ke Yogya sudah masuk peron dan penumpang dipersilakan naik. Aku dan Andi bangkit dari tempat duduk dan menuju pintu kereta api.

Aku mengikuti  Andi dibelakangnya, setelah kami menepati tempat duduk yang tertera di karcis kami. Andi membantu aku menaikan barang bawaanku diatas tempat duduk kereta api. Perjalan masih panjang aku dan Andi akan berada 12 jam di kereta api ini, entah karena penat atau mengantuk setelah kereta api berjalan matakupun terpejam.

***

Entah berapa lama aku tertidur, ketika aku terbangun kepalaku tepat di bahu Andi. Aku mengangkat kepalaku, mataku bertatapan dengan mata Andi.

“Sudah bangun?” aku menganguk dan tersenyum malu

“Maaf aku tertidur dibahu Andi.” Kataku

“Tidak apa – apa, aku rela bahuku menjadi bantal tidur Ais.” Senyum Andi membuatku merasa nyaman.

“Ais lapar?” tatapan mata yang membuatku luluh dan melupakan sakit hatiku.

Andi merubah posisi duduknya sehingga kami saling berhadapan.

“Ais, Andi mau mengatakan sesuatu.” Aku hanya diam mendengarkan perkataan Andi

“Andi tahu Ais hanya ingin lari jauh karena kecewa, bolehkan Andi mengobati luka hati Ais.” Tatapan mata Andi bagaikan menembus mata hatiku.

“Kita akan sama – sama mengapai asa di kota Yogya, meraih cita dan cinta.” Aku tidak tahu apa yang mesti aku katakan. Yang pasti ada sedikit harapan dalam perjalanan menuju kota Yogya, semoga luka hatiku terobati. Perjalan ke kota Yogya dengan sejuta asa di dada.***

Tinggalkan Balasan