“Kapan kamu mulai penelitianmu di sini? Ayolah cepat datang. Aku sendirian saja berjuang di sini. ” kata Ratih padaku. Ratih sudah mulai penelitian kultur jaringan tumbuhan untuk skripsi reproduksi tanaman sejak awal semester lalu. Sementara aku terus menunda pergi ke kota itu. Tempat di mana kami berdua seharusnya menyelesaikan tugas penelitian kami.
Sudah untung punya dosen pembimbing yang baik dan sabar, bahkan mengenalkan kami pada temannya yang peneliti di sebuah perusahaan di kota lain. Yang membuatku menahan bersegera memulai tak lain adalah pikiran-pikiranku yang ribet sendiri. Bagaimana perjalanan ke sana. Macetnya. Harus tinggal di kota baru. Bagaimana penyesuain diri dengan rekan-rekan kerja di perusahaan teman dosen kami, dan lain-lain.
Tak berani kuungkap semua cemasku pada Ratih. Bisa kena marah aku. Setelah lama berpikir, akhirnya aku datang juga ke perusahaan tersebut sebagai mahasiswa peneliti kedua setelah Ratih.
“Akhirnya kamu datang juga. Semakin lambat memulai, akan selesai lebih lama. Penelitianku beberapa bulan lagi selesai, selanjutnya aku akan balik ke kampus mengerjakan laporan skripsiku di sana. Coba kamu lebih cepat datang, kan kita bisa mulai bersama. ” Ratih kembali menasehatiku panjang lebar.
“Kamu kos di sini saja, sementara berdua denganku. Kalau aku sudah selesai kamu bisa lanjutkan kos di sini. Tidak jauh koq dari perusahaan. Paling jalan kaki 15 menitan.” Aku masih diam saat pertama sampai di kota ini. Aku dengarkan saja semua perkataan Ratih. Tentang banyak hal di perusahaan. Nama-nama orang yang akan berkaitan dengan penelitian kami. Dan masih banyak hal lainnya.
Ratih akhirnya mengajakku jalan-jalan mencari makan di sekitar tempat kami kos. Bahkan Ratih menunjukkan jalan menuju alun-alun kota yang ada banyak penjual makanan kalau malam menjelang.
Keesokkan harinya, Ratih menemaniku bertemu teman dosen kami, yang bertanggung jawab sebagai dosen pembimbing skripsi kami yang kedua. Dalam bimbingan Pak Budi, kami mengerjakan skripsi tentang pohon yang sedang dibudidayakan perusahaan itu.
Aku juga berkenalan dengan beberapa staf yang selalu ada di laboratorium. Mereka yang akan terlibat dalam membantu kami menjelaskan bagaimana menyediakan perlengkapan untuk penelitian. Semuanya orang baik. Selalu bersedia membantu.
Akhirnya Ratih selesai dengan semua penelitiannya. Tapi aku masih baru seperempat jalan. Ratih sudah kembali ke kota tempat kami kuliah dan aku harus tinggal di kota ini. Sendirian sebagai mahasiswi peneliti di perusahaan ini. Baru kutahu rasa sendiri yang dirasakan Ratih sebelumnya. Meski semua staf di sini baik, tapi semua berusia di atasku. Tak ada kawan sebaya. Aku hanya perlu fokus pada penelitianku saja.
Sampai suatu pagi aku dapati ada 2 mahasiswi dan 1 mahasiswa baru di perusahaan. Kaget, senang dan lain-lain. Mereka ternyata para mahasiswa yang magang untuk PKL di sana. Bukan dari kampusku. Mereka dari kota lain lagi. Tapi senang juga ada sesama mahasiswa yang bisa diajak ngobrol. Ketiganya memang mahasiswa yang lebih muda 1 tahun dariku, tapi tak mengapa.
Selain mengerjakan skripsku adakalanya kami ngobrol di luar materi kuliah. Hanya mengobrol santai. Pernah satu kali dalam tahap penelitianku, yang terdiri dari tiga tahap, pada tahap ketiga penelitianku gagal. Sedihkah aku? Jangan ditanya. Menangis aku dalam hati. Menatap semua botol berisi media tanam dan eksplan yang kutumbuhkan penuh dengan jamur. Semua terkontaminasi.
Di dalam laboratorium, ruang pertumbuhan di mana ku letakkan semua hasil penelitianku, aku terdiam. Dalam hati aku berdoa, berbicara pada Tuhanku apa maksudMu ya Tuhan. Memgapa harus gagal di tahap ketiga? Itu tahap akhir. Yanga rtinya aku harus mengulang lagi dari tahapan awal.
Tak ada titik airmata menetes. Semua orang melihatku dengan rasa iba. Aku hanya tersenyum. “Saya harus mengulang lagi. Mungkin harus ambil calon eksplan dari tempat tumbuh pohon di tempat yang lain” Semua staf dan mahasiwa PKL pun mendoakan keberhasilan penelitian saya berikutnya.
Perbicangan sore itu, saat adik mahasiswi bermain ke kosku, tak kusangka dia mengomentari sikapku menghadapi kegegalan penelitian. “Kak Gita, aku merasa kagum. Kak Gota sama sekali tak nampak marah, atau menangis saat melihat penelitian kak gota gagal. Kalau itu terjadi padaku, mungkin aku akan nangis-nangis sampai marah-marah kali. Kak Gita sabar dan tabah sekali ya” Kata Nia padaku. Kaget juga mendengar komentar itu. Ternyata cataku bersikap mengahadapi kegagalan penelitian sangat diperhatikan.
Aku tersenyum. “Terimakasih Nia. Aku tak menyangka kalau kau sangat memperhatiakan reaksiku terhadap kegegalan. Iya, sebenernya aku amat sangat sedih. Semua tangisku luber di hati dalam doa-doaku pada Tuhan. Nyatanya jika aku marah-marah, menangis dan emosi berlebihan lainnya, bukankah tidak mengubah hasil? Gagal ya tetap gagal. Tak berubah jadi berhasil dengan marah-marah. Aku belajar bahwa kesabaran yang kau lihat dariku, tak lebih dari hasil doaku pada Tuhan.
Tuhan sendiri yang menolongku menerima kegagalan dengan ketabahan. Mau tak mau ya harus mengulang lagi dan lebih hati-hati agar tidak sampai gagal lagi. ” jelasku pada Nia. Aku jujur. Tak mau aku berpura-pura tetap bahagia. Sedih itu ada, hanya semua kubawa dalam doaku pada Sang Kuasa.
Perbincangan sore itu menolong membuka mataku. Bahwa betapa hidupku ini bagai surat terbuka yang sedang dibaca jelas oleh orang-orang di sekelilingku. Termasuk adik kelas dari kampus lain yang sedang PKL di perusahaan tersebut.
“Aku akan ingat semua nasehat kak Gita, jika tiba saatnya aku skripsi nanti, akan kucoba hadapi dengan kesabaran dan ketabahan. ” kata Nia. Aku senang sekali mendengarnya. Petang data g membuat Nia pamit pulang.
Hanya beberapa hari kemudian semua mahasiswa PKL itu sudah selesai. Tinggal aku sendiri saja melanjutkan skripsiku. Penelitian terpakasa kuulang lagi. Dan kali ini aku lebih hati-hati agar tidak terjadi kontaminasi pada hasil penelitianku dalam botol-botol kecil itu.
Akhirnya, semua berakhir indah. Penelitianku berhasil. Dan aku bisa pulang ke kota di mana kampusku berada. Aku bisa melanjutkan mengerjakan skripsiku dan mengejar ujian pada waktu yang ditentukan. Akhirnya aku memang bisa wisuda dengan teman-teman seangkatanku. Meskipun aku termasuk yang terakhir mengikuti ujian skripsi.
Gelar S1 pun kuterima dengan senang saat wisuda. Memang nilai skripsiku tidak maksimal layaknya beberapa teman. Tapi setidaknya semua pelajaran kehidupan kudapati saat proses pelaksanaan penelitian skripsiku ini. Aku menikmati prosesnya. Hasil dari kesabaran dan ketabahanku pada akhirnya berbuah manis. Bapak dan Ibu sangat bangga dan juga datang pada acara wisudaku. Aku berfoto bersama teman-teman seangkatan. Jiga tentu saja berfoto dengan Ratih. Teman seperjuangan di perusahaan itu.
Jadi teman-teman, jika ada masa di hidupmu seperti gagal dan harus mengulang sesuatu, sabar dan tabahlah. Jangan pernah berhenti di tengah perjalanan. Perjuangan yang sudah dimulai, selesaikan dengan baik hingga garis finis.
Mau berjuang bersamaku menggapai mimpi? Ingatlah bahwa Tuhan selalu bersamamu dalam masa suka dan dukamu.
Tamat
..
Eksplan: bagian dari tanaman yang dijadikan sumber perbanyakan dalam kultur jaringan.
….
Based on the true story
Pernah tayang di Kompasiana