Bukan Penulis (Part 8)

Cerpen, Fiksiana27 Dilihat

“Kau dan Anak laknatmu membuat Anakku meninggal.”

“Ayah pelankan suaramu, jangan sampai Ila mendengarnya. Ila tidak bersalah dalam hal ini. “Ingat Yah, Bang Faisal yang menyangupi menikahiku walaupun Ayah tahu aku lagi mengandung anak bang Faisal. Aku dan Faisal menikah karena Abang yang meninggalkan aku tanpa kabar selama 5 tahun, Aku menunggu Abag walaupun Aku tahu semua keluargaku tidak merestui hubungan kita. Dan akhirnya aku menerima bang Faisal karena 5 tahun Bang, Abang tidak memberi kabar sekedar mengatakan Abang masih hidup.” Suara Ibu sayup – sayup terdengar.

Aku berusaha mendengarkan percakapan Ayah dan Ibu dengan cara mendekat ke dinding kamarku yang bersebelahan dengan kamar Ayah dan Ibu.

“Aku muak melihat muka Ila, Aku jadi mengingat bagaimana aku mendapatkan sisa Bang Faisal. Aku selalu kalah jika harus bersaing dengan Bang Faisal, Ayahku selalu membela Bang Faisal hanya karena aku bukan dari anak wanita yang dicintainya. Aku tidak minta ia menikahi Ibuku sampai melahirkan aku. Mendengar penuturan Ayah, membuatku tertegun. Jadi Aku bukan anak Ayah, dan mengapa Ayah membenci Ayahku.

“Sudah Yah, jangan diungkit cerita lalu yang akan membuat kita semua terluka. Ila tidak pernah tahu siapa Ayahnya, Ila selalu berusaha membuat Abang bahagia. Tapi Abang saja yang selalu memusuhinya, bukan salahnya jika Ia sebaik dan sepintar Ayahnya suara Ibu berusaha menenangkan Ayah.

“Terus saja bela Bang Faisal dan Anaknya.” Suara Ayah bisa membangunkan orang seluruh kampung.

“Ayah pelankan suaranya.” Suara Ibu tidak kalah tingginya

“Ayah yang membedakan Ila dan Lia padahal jika tidak karena Ayah. Lia pasti masih bersama kita.” Terdengar suara Ibu terisak. Aku masih menempelkan teligaku pada dinding pemisah kamar kami.

“Ayah, Ayah tahu Lia sifatnya sama seperti Ayah. Keras kepala, semua kemauanya harus diteruti persis seperti Ayah. Ayah masih ingat bagaimana kita sampai tidak jadi menikah bukan, hanya karena Ayah keras kepala. Ayah meninggal Ibu tanpa memberi kabar. Jika bukan karena Bang Faizal, Ibu tidak tahu bagaimana nasib keluarga Ibu dan Ibu yang harus menanggung malu karena Abang Seharusnya Abang bersyukur, karena Bang Faizal kita bisa bersatu kembali. Allah terlalu sayang dengan Bang Faisal sehingga memanggilnya lebih cepat. Jika Ibu menikah dengan orang lain belum tentu kita bisa menikah. Ibu sudah cukup bersabar dengan ini semua, jika Abang masih menyalah Ila ibu tidak akan tinggal diam lagi. Lebih baik kita berpisah saja. Sadarlah Bang, Ila tidak pernah sekalipun marah walaupun dia selalu bertanya kepada Ibu kenapa Ayah selalu membeda – bedakannya dengan Lia. Tapi pada akhirnya Ila sadar dan berkata kepada Ibu

“Ila sudah besar memang seharusnya Ila mengalah dengan Lia, Ila bisa mandiri sementara Lia belum. Masak Abagn kalah sama anak yang baru seumur jagung, kadang – kadang Ibu merasa Ibu yang bersalah karena menikahi Ayah yang hanya mencintai Ibu tapi tidak dengan anak Ibu. Ingat Yah Ila bukan hanya anak Ibu tapi juga keponakan Ayah yang seharusnya Ayah bela bukan menyakitinya.” Suara isak Ibu sudah pecah pasti ibu sedang menangis batihnku setelah mendengar semua penuturan Ibu aku semakin sadar kenapa Ayah sangat membenciku tapi apakah ini salahku.

Aku tidak mau mendengarkan lagi percakapan Ayah dan Ibu aku memilih kembali ke ranjangku dan menenangkan hati dan pikiranku. Berbaring menatap langit – langit kamar sambil berusaha memejamkan mata. Lama – lama sekali aku baru bisa memejamkan mataku.

***

“Ayaaaaah.” Suara pekikkan Ibu mengejutkan aku, kepalaku terasa sakit mungkin karena aku kurang tidur. Berusaha bangun dengan sakit kepala yang sangat parah. Berjalan terseok menuju pintu kamar. Aku harus tahu apa yang terjadi sehingga Ibu memekik manggil nama Ayah.

Sesampainya di kamar Ibu, aku melihat Ibu lagi  menguncang – nguncang badan Ayah.

“Ayah kenapa bu?”  Ibu melihat kearahku, Ayah Ila, Ayah tidak merespon panggilan Ibu suara ibu sendu.

Mendekati Ibu dan melihat keadaan Ayah

“Sebaiknya kita memanggil tetangga untuk mengantar Ayah kerumah sakit Bu.” Ibu menganguk menyiakan perkataanku.

“Biar Ibu minta tolong sama nak Jamal, Ila tunggu Ayah.” Ibu memberi perintah kepadaku setelah ibu keluar kamar meninggalkan Aku dan Ayah.

Setelah menunggu hampir setenggah jam, langkah kaki mendekat kamar Ibu. Ibu dan Bang Jamal sampai

“Minggir sedikit Ila, biar abang mudah mengangkat Ayah.” Perintah Bang Jamal, Aku bergeser dari tempatku untuk memudahkan Bang Jamal mengangkat Ayah.

“Ila tunggu rumah saja ya.” Ucapan Ibu, Aku jawab dengan anggukkan kepala. (Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan