KABUT DALAM BADAI 10
Tung Widut
Arera sangat terpukul. Lelaki yang selama ini diharapkan membawanya terbang ke surga ternyata mempunyai perasaan lain. Tak seperti yang diharapkan. Disaksikan keluarga besar semua harapan disirnakan dengan kata maaf. Ketulusan hati, perhatian dan pengorbanan selama ini hanya persinggahan sementara. Kini hanya bisa memandangi mobil Indu yang semakin jauh meninggalkan dirinya.
Kembali mobil Avanza silver Indu melaju di jalanan. Menyatu dengan pepohonan rindang yang masih alami di sisi kanan jalan . Tak terlewatkan dia melirik nun jauh di di bawah sana. Terlihat sebuah taman yang melegenda di Kota Batu. Di situlah Indu dan Arera melewatkan malam pengantin semu yang terjadi kesekian kalinya. Udara dingin yang dinikmati diubah menjadi kehangatan dalam ruang persegi. Mereka mengarungi keindahan surga yang semu pula. Nafas melaju melambungkan kenikmatan di atas langit tingkat tujuh. Mengurai kasih sedetail deru tiap hentakan hati. Menyatu dalam bara kehangatan yang tang mungkin dijelaskan. Mereka mengambil mimpi di siang hari. Menyeret nafsu tanpa sebuah ikatan. Semua berjalan begitu saja. Tanpa ada kata jadian atau tembak-menembak layaknya anak muda. Kenyamanan memang mahal, itu yang membuat mereka lupa. Lupa segalanya.
Suatu waktu Indu berbohong kepada istrinya. Bekerja mengantarkan tamu ke luar kota. Tempat yang hanya ada pada pikiran Indu dan Arera. Mereka bersekongkol membuat tempat yang hanya ada halusinasi bagi mereka. Sebenarnya mereka hanya menikmati malam di sebuah ruangan. Berdua melihat bintang bertebaran di atas lampu kerlip kota Surabaya. Bintang yang mewarnai kebersamaan mereka. Kebersamaan tak berujung. Kehangatan sirna. Hanya tinggal sprei putih yang bercerita tentang percintaan semalam. Bulan pun hilang begitu saja pergi meninggalkan mata mereka yang terlelap.
Pagi telah datang. Matahari membangunkan mata mereka. Mata mereka tak begitu saja menyerah. Mimpi di siang bolong pun di rajutnya kembali. Nafas mereka telah berdusta. Hanya datang sebentar dan kemudian menghilang.
Jalan Cangar yang mulai sepi mengikat angan Indu untuk lebih berkonsentrasi. Tak mau tanya mundur lagi seperti saat berangkat. Benar-benar ditepisnya kenangan indah bersama Arera. Kenangan yang selalu datang di pelupuk matanya saat terpejam maupun terjaga. Terlalu Indah.
Sekelebat ada sebuah cahaya. Tiba-tiba mata Indu melihat benda yang sangat dekat dengan pupil matanya.
“Duuuuuar.”